Pelajaran dari Sang Pengamen

Jun 30, 2012 No Comments by

Sembari mengikuti tax brevet jum’at malam kemarin, entah mengapa perut ini begitu laparnya, pikiran ini melayang-layang memikirkan makanan apa yang hendak dimakan sepulang kuliah. Pikiran tentang Capcay Rebus, Mie Ayam, Nasi Goreng, Nasi Padang, Sop Kambing dan Mie Goreng, bercampur baur dengan penjelasan tentang sengketa pajak yang disampaikan oleh instruktur..[*pfiuuuhh]. Padahal udah hampir sebulan ini saya jarang sekali lapar dan makan “berat” di malam hari. Mungkin cuaca yang begitu dingin penyebab rasa lapar itu semakin menjadi. Cuaca dingin ini disebabkan sore hari kemarin Yogya diguyur hujan yang deras.

Hingga selesai kuliah, keputusan tentang makanan apa yang akan disantap belum juga didapatkan. Akhirnya dalam perjalanan pulang, saya jadi teringat dengan sop kaki kambing yang terletak tidak jauh dari bundaran UGM. Selama saya berada di kota ini baru sekali saya makan di tempat ini (dengan tadi malam jadi dua kali), rasanya lumayan nancap di lidah. Meskipun di pinggir jalan, pengunjung yang datang ramai dan beragam, dari yang berkendaraan roda dua hingga empat terparkir disitu sehingga agak sedikit mengambil ruas jalan yang terletak di arah selatan bundaran UGM itu.

Pernak-pernik sop yang membangkitkan selera, mulai dari babat, daging, tulang iga, tulang muda dsb, dapat kita pilih dengan bebas di kedai sop kaki kambing ini, dengan harga yang relatif terjangkau. Kita cukup merogoh kocek kurang dari 20 ribu, lezatnya santapan sop kambing sudah bisa dinikmati. Singkat cerita saya pun mulai menyantap makanan yang telah saya pesan dengan lahapnya [* dah kelaparan banget neeh]. Tak berapa lama setelah itu, datang seorang pengamen yang dengan santunnya mengucapkan kata permisi untuk beraksi di depan pengunjung kedai sop kambing tersebut.

Sejak awal saya sudah cukup respect dengan kesantunan sang pengamen ini, kesantunan ini ternyata juga diiringi dengan kepiawaiannya dalam memainkan gitar ditambah lagi dengan suaranya yang bagus. Alunan tembang-tembang lawas dari Panbers dengan iringan nada yang sedikit jazzy keluar dari bibir sang Pengamen semakin menambah kenikmatan saya menyantap nasi sop kambing di tengah cuaca yang dingin. Sesekali saya memerhatikan wajah si Pengamen, terlihat keseriusan dan kesungguhannya dalam melakukan pekerjaannya. Ia begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya.

Pikiran saya pun langsung melayang-layang dan kemudian tercenung. Begitu banyak dari kita yang terkadang tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan. Banyak orang yang ingin sibuk tetapi tidak ada yang memberikannya kesibukan, tetapi ketika kesibukan itu telah ada, keluh-kesah seringkali muncul. Terkadang kita mengeluh dengan pekerjaan yang kita lakukan, dengan berdalih kerja dibawah tekanan, gaji yang tidak memadai, pas-pasan, dsb. Pernyataan seperti itu biasa saya dengar dari rekan sekerja maupun yang berbeda. Mengeluh itu memang sifat manusia, Tuhan juga menyatakan bahwa manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah, sehingga wajar bila sesekali hal itu kita alami, namun menjadi tak wajar bila intensitas mengeluhnya sudah berulang-ulang kali.

Jika kita melihat apa yang dilakukan oleh pengamen itu dibandingkan dengan kita yang sudah bekerja dengan diberi imbalan penghasilan, seharusnya kita patut bersyukur. Harapan akan uang recehan yang belum tentu didapatkan dari pengunjung kedai makan membuat pengamen itu begitu menikmati pekerjaannya. Mengapa kita yang telah diberi pekerjaan dengan penghasilan yang sudah bisa kita ukur seringkali membuat kita menjadi mengeluh ? Ingatlah masa-masa ketika kita sedang bingung selepas kuliah mencari pekerjaan kesana kemari atau merintis usaha dengan kerasnya disertai peluh keringat. Masa-masa itu kadang membuat kita berfikir betapa susahnya hidup ini, betapa tidak berfihaknya hidup ini kepada diri kita. Masa-masa susah itu seharusnya membuat kita semakin bersyukur atas apa yang telah kita dapatkan saat ini.

Tidak ada kondisi yang ideal memang ketika kita bekerja. Pengalaman saya bekerja di lingkungan swasta dan pemerintahan memberikan pemahaman bahwa selalu saja ada kelemahan dan kelebihan masing-masing. Konflik, kejenuhan dan berbagai intrik itu selalu ada, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi itu semua. Hidup ini bukan urusan orang lain tetapi urusan Anda sendiri (Mario Teguh). Albert Schweizer pernah berkata jika kita mencintai apa yang kita lakukan kita akan mencapai kesuksesan. Lakukanlah pekerjaan yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Berusahalah menjadi yang terbaik, apapun posisi kita saat ini. Jika saat ini kita hanyalah rumput, jadilah rumput permadani yang lembut dan indah dipandang mata. Walaupun kita ini hanyalah wong ndeso nan kutu kupret tetaplah bernyanyi tentang kebaikan dan profesionalisme. Mulai dari diri sendiri walaupun sebait kata dan sedikit perilaku. Selalu ada yang mendengarkan dan merasakan kebaikan dan profesionalisme yang kita senandungkan dan lakukan dimanapun kita berada dan apapun posisi kita saat ini. Kesempurnaan itu memang tidak mungkin, tetapi yang mungkin adalah menyempurnakan tindakan kita. Melakukan pekerjaan dengan penuh kebaikan dan cinta kasih akan semakin menumbuhkan rasa syukur kita terhadap Tuhan. Pesan dari ibu Theresa patut menjadi renungan bagi kita, terkadang dalam hidup ini kita tidak bisa melakukan hal-hal yang besar, tetapi kita dapat melakukan sesuatu yang kecil dengan cinta yang besar. Profesionalisme dalam melakukan setiap tindakan akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa, tidak peduli apapun tindakan yang kita lakukan apakah kejahatan atau kebaikan. Kejahatan yang dilakukan secara professional saja bisa mendatangkan sesuatu yang luar biasa seperti Mafia, Triad dan Yakuza. Apalagi jika kebaikan !?.

……
Kerja adalah wujud nyata cinta. Bila kita tidak dapat bekerja dengan kecintaan, tapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaan itu. Lalu, duduklah di gerbang rumah ibadat dan terimalah derma dari mereka yang bekerja dengan penuh suka cita. (Kahlil Gibran)

Bekerja dengan rasa cinta, berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan. Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu ? Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak. (Kahlil Gibran)
…..

Sambil mendengarkan alunan lagu dari sang pengamen dan merenung kesana kemari. Nasi dan sop di piring serta jeruk hangat di gelas pun sudah berpindah tempat ke perut saya. Rasa lapar tadi telah hilang. Saya pun beranjak dari tempat duduk, dengan memberikan imbalan ke sang Pengamen tadi yang hampir menyelesaikan lagu kedua yang dinyanyikannya. Satu lagi yang menggugah perasaan saya, dengan ucapan terimakasih yang halus dan ekspresi tubuh yang amat santun, pengamen tersebut menerima uang yang saya berikan. Begitu bersyukurnya ia menerima uang yang mungkin bagi sebagian dari kita tidak memiliki makna apa-apa.

Sumber: arifperdana.wordpress.com

Cerita Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Pelajaran dari Sang Pengamen”

Leave a Reply