Ornop, Sebuah Citra Ketergantungan

Jan 23, 2013 No Comments by

Sepajang tahun 2002, setidaknya dua persoalan besar yang mendera Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi nonpemerintah (ornop) yang dibidani advokat senior Dr Adnan Buyung Nasution itu terterpa badai yang pertama karena Undang Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan berlaku pada Agustus tahun lalu. Dengan berlakunya UU Yayasan tersebut, YLBHI menjadi tidak leluasa lagi, termasuk dalam menerima dana dari negara, perseorangan, maupun organisasi lain.

Pemberlakuan UU Yayasan mewajibkan setiap yayasan melaporkan keuangannya secara terbuka, termasuk melalui media massa bagi yang menerima bantuan dari pemerintah atau pihak lain. UU Yayasan juga memberikan peluang kepada pemerintah, melalui kejaksaan, untuk bisa “mengintervensi” ornop tersebut. Bagi YLBHI yang bisa meneriakkan keadilan untuk rakyat, yang terkadang berseberangan dengan aparat atau pemerintah, peluang intervensi dari pemerintah itu memang tak membuatnya “nyaman” dalam bekerja. Kondisi yang sama juga dialami sejumlah ornop lain yang bisa “berseberangan” dengan aparat pemerintah.

Dengan bekal pengalaman “menyiasati hidup” pada era represi Orde Baru, bagi YLBHI maupun ornop lain tidaklah sulit untuk tetap survive menghadapi intervensi pemerintah, seperti yang diatur dalam UU Yayasan.

Sejumlah ornop, termasuk YLBHI, men-cuek-kan saja aturan dalam UU No 16/2001 itu meskipun sejumlah ornop lain menyiasatinya dengan mengubah badan hukumnya menjadi, misalnya, perkumpulan. Dengan menjadi perkumpulan, mereka memang merasa tidak perlu terikat lagi dengan UU Yayasan. Walaupun disadari, “strategi” ini merupakan upaya sesaat karena bisa saja setiap saat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat UU tentang Perkumpulan yang mengikat siapa pun.

Persoalan kedua yang menimpa YLBHI, dengan dampak yang lebih terasa dan mempengaruhi citranya, adalah penghentian pemberian dana dari sejumlah lembaga di luar negeri kepada ornop yang mempunyai sejumlah lembaga bantuan hukum (LBH) di Jakarta dan daerah tersebut. Akibat kekurangan dana itu, YLBHI terpaksa memangkas sebagian gaji karyawan. Program pun terancam tidak jalan. Bantuan dana yang diberikan Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, tak sepenuhnya bisa mengatasi masalah. Bahkan, menimbulkan persoalan baru, polemik dan penolakan dari kalangan LBH sendiri maupun aktivis prodemokrasi. Dikhawatirkan pemberian dana oleh keluarga Presiden akan membuat YLBHI kehilangan sikap kritisnya terhadap penguasa.

Sampai hari ini, YLBHI memang belum terlepas dari persoalan dana untuk bergerak dan menghidupi kondisi itu. Kesulitan dana yang dialami YLBHI bukan hanya menimbulkan keprihatinan di kalangan ornop, tetapi juga memberikan gambaran yang nyata kepada masyarakat mengenai sosok mereka yang sering disebut sebagai lokomotif demokrasi dan kekuatan penyeimbang pemerintah. Sekalipun sudah berusaha lebih dari seperempat abad, ternyata YLBHI masih mempunyai ketergantungan yang besar kepada dana dari donatur internasional. Bukan hanya tidak mempunyai sumber dana sendiri, termasuk kemungkinan dana abadi untuk menghidupi dirinya, YLBHI ternyata tak mempunyai sumber dana dari dalam negeri yang amat memadai pula.

Dalam diskusi, sejumlah aktivis LSM memang tak terlalu mempersoalkan pemberlakuan UU Yayasan. Tetapi, persoalan yang diperlihatkan YLBHI dalam pendanaan adalah gambaran umum ornop di negeri ini. Sebagian besar ornop sampai hari ini masih memiliki ketergantungan pada donatur, khususnya dari luar negeri. Sangatlah sedikit ornop yang mampu membiayai sendiri program pemberdayaan masyarakat yang ingin dilakukannya, atau setidak-tidaknya memiliki cadangaan dana yang memadai untuk tetap bertahan hidup.

Kesulitan keuangan yang mendera YLBHI makin menguatkan persepsi, ornop selama ini tidak lebih dari penyalur uang donatur. Ornop di negeri ini merupakan kepanjangan tangan kepentingan kalangan asing yang mempunyai dana. Ornop tak mampu menunjukkan citra yang berbeda dengan pemerintah karena sama-sama tergantung kepada pendanaan asing dalam membiayai programnya.

Selain ornop yang mempunyai tergantungan dana yang besar pada sejumlah donatur, khususnya asing, sejumlah ornop pun mempunyai ketergantungan dana yang tidak kurang besarnya pula pada pemerintah. Ornop “pelat merah” hampir tidak ada yang berkembang dan mandiri. Bahkan, sejumlah ornop “pelat merah” tumbang bersamaan dengan lengsernya pejabat atau kelompok penguasa yang menjadi gantungan hidupnya.

Selain menimbulkan ketercengangan publik karena masih terbelit persoalan dana untuk melaksanakan program dan menghidupi dirinya setelah puluhan tahun berkiprah, upaya menyelesaian persoalan di YLBHI juga semakin menguatkan sebuah sinyalemen lain yang berkembang dalam masyarakat terkait dengan keberadaan ornop. Ornop hampir selalu gagal melahirkan kader yang lebih baik. Ornop cenderung tidak mampu melahirkan figur yang “sekelas” dengan pendiriannya.

Nasution yang sudah puluhan tahun “meninggalkan” YLBHI terpaksa harus “turun gunung” untuk membantu menyelesaikan persoalan yang membelit “anak”-nya tersebut. Sekalipun keterlibatannya kembali menimbulkan sikap prokontra, harus diakui, pada saat-saat terakhir sebelum Nasution kembali ke YLBHI tidak ada figur kuat lain yang mampu diterima keseluruhan keluarga YLBHI, termasuk LBH-LBH di daerah. Tidak ada figur lain yang berani tampil, muncul, dan mecoba “menyelamatkan” YLBHI dengan berbagai masalahannya tersebut.

Memang, sebagian orang menganggap Nasution merupakan bagian dari masalah yang membelit YLBHI. Tetapi, harus diakui pula, YLBHI tidak pernah bisa melepaskan dari figur advokat senior berambut perak itu. Dan, nasib YLBHI yang amat terkait dengan figur itu tak selisih jauh dengan nasib sebagian besar ornop di negeri ini. Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Entjeng Sobirin Nadj mengakui, keterkaitan suatu LSM dengan suatu figur amatlah kuat dan berpengaruh. Bahkan, tidak jarang sebuah ornop bubar atau hilang setelah ditinggalkan tokohnya.

Selain YLBHI yang identik dengan Nasution, pantas dicatat pula ornop lain seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang identik dengan Munir, Teten Masduki dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdul Hakim Garuda Nusantara dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan Center for Electoral Reform yang identik dengan Smita Notosusanto. Masih banyak sejumlah nama lainnya yang memiliki keterkaitan erat dengan LSM bentuknya. Tak jarang, walau ornopnya masih beroperasi, gaungnya semakin surut setelah tokoh pendirinya atau orang yang ditokohkan tak aktif lagi.

Ada tokoh lain pula yang mempengaruhi sebagian besar ornop di negeri ini, selain figur pendiri atau figur sentral LSM tersebut, yakin penguasa. Sewaktu negeri ini dipimpin Soeharto, yang dikenal represif, otoriter, dan kurang menghargai hak asai manusia (HAM) dengan sebagian besar wakil rakyat yang tidak banyak berbuat untuk rakyat, ornop memiliki lahan amat luas untuk mengaktualisasikan dirinya. LSM memiliki kesempatan, walaupun harus bermain-main dengan keterbatasan dan ketatnya pengawasan aparat, sangat luas untuk memberdayakan masyarakat. Rezim yang korup memberikan keleluasaan pada ornop semacam ICW, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dan Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita) untuk mengawasinya.

Ornop di negeri ini seperti kehilangan darah kritisnya sewaktu KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden, terutama pada awal masa pemerintahannya. Abdurrahman Wahid memang memiliki kedekatan dengan sejumlah LSM di Indonesia. Barangkali ada semacam ewuh pakewuh bagi kalangan LSM untuk mengkritisi Abdurrahman Wahid. Walaupun pada akhirnya, saat Abdurrahman Wahid dianggap melakukan sejumlah kesalahan, sejumlah ornop yang berseberangan dengan mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) itu kembali memunculkan sikap kritisnya.

Jadi, sesungguhnya ornop pun sangat tergantung pada siapa yang memimpin negeri ini. Karena, ornop cenderung masih bekerja dengan orientasi rezim yang otoriter, maka ketika berhadapan dengan rezim yang lebih demokratis atau pertisipatif, LSM pun kehilangan gairah. LSM ditengarai sejumlah orang saat ini seperti kehilangan visi dan misinya.

Sesungguhnya tidak gampang menyebutkan jumlah yang pasti keberadaan ornop di negeri ini. Karena memiliki ketergantungan yang kuat kepada penyumbang dana, tokoh sentralnya, dan suasana penguasa di negeri ini, LSM seperti patah tumbuh hilang berganti. Seperti pepatah Sunda, esa hilang dua terbilang. Bahkan, sejumlah kalangan, seperti diakui aktivis LSM peserta diskusi, ternyata lebih mudah menernakkan LSM daripada menernakkan kambing.

Ornop merupakan sebuah “kerajaan” tersendiri, yang mempunyai kosmologi sendiri dengan pergulatan tersendiri pula. Akibatnya, sekalipun banyak orang melihat, banyak pula yang tak bisa memahami LSM. Bahkan, di kalangan aktivis LSM sendiri pun masing-masing cenderung bergulat dengan dirinya sendiri. Meski memiliki lahan garapan yang sama, seperti memberdayakan masyarakat miskin, tetapi teramat sulit membangun sebuah jaringan yang solid.

Memang sejumlah kalangan hampir dua dasawarsa terakhir ini berusaha membangun jaringan ornop untuk memperkuat bargaining maupun mengefektifkan pergerakannya. Tetapi, sampai hari ini masih sulit untuk menyebuatkan sebuah jaringan ornop yang sungguh-sungguh maupun di negeri ini. Saat masyarakat meramaikan proses Perubahan Undang Undang Dasar (UUD) 1945, sejumlah ornop bersama aktivis prodemokrasi memang berhasil membangun Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru yang mampu mempengaruhi opini wakil rakyat dan publik. Namun, karena tergantung dengan isu yang seksi, koalisi itu pun tenggelam ketika perubahan konstitusi tetap ditetapkan sesuai skenario wakil rakyat.

Padahal, sebuah jaringan ornop yang terbangun kuat bukan cuma memudahkan perjuangan, tetapi juga bisa menyelamatkan ornop itu dari berbagai kesulitan, termasuk dalam pendanaan. Seperti YLBHI, kalau saja selama lebih dari tiga dasawarsa ini mampu membangun jaringan dengan sesama LSM yang sebagian kini mandiri atau dengan alumninya yang sebagian sudah mapan, merekalah yang akan menyelamatkan ornop yang selama ini dianggap sebagai lokomotif demokrasi serta penegak keadilan bagi rakyat tertidas tersebut. Namun, jaringan itu belum ada. Ornop ternyata tidak lebih baik dari pemerintah. Mereka masih harus merumuskan kembali arah perjuangannya serta masih disibukkan dengan urusan-urusan untuk “menyelamatkan” diri sendiri.

Oleh : Tri Agung Kristanto

Sumber Buku Lembaga Swadaya Masyarakat Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, KOMPAS, 2004, halaman : 54 – 60. Sumber Tulisan, KOMPAS, 22 Januari 2003.

Bentuk Penggalangan, Posisi, Peran, dan Misi, Teori Pertumbuhan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Ornop, Sebuah Citra Ketergantungan”

Leave a Reply