Martabat Seorang Penari

Sep 07, 2013 No Comments by

Sejarah mengalir pekat dalam setiap lenggok maestro tari Ayu Bulantrisna Djelantik. Sejak enam dekade silam di puri kecil kakeknya di Karangasem, Bali, hingga kini di panggung-panggung pentas dunia.

Tari adalah nafas hidupnya. Kakek Bulan adalah Anak Agung Anglurah Djelantik, raja terakhir Karangasem. Di puri sang kakek, Bulan berguru pada maestro seperti Ida Bagus Bongkasa dan Gusti Biang Sengog. Di usia 12 tahun, pada 1959, dia menyuguhkan tari “Oleg” di hadapan Presiden RI Sukarno dan Presiden Vietnam Ho Chi Minh di Istana Negara, Jakarta. Sejak itu, setiap tahun, dia membawa nama Indonesia dalam berbagai misi kebudayaan ke berbagai negara.

Seperti ayahnya, Dr. Anak Agung Djelantik, Bulan jatuh cinta pada dunia kedokteran. Darah sang ayah, menitis pada Bulan. Tari dan kedokteran melengkapi hidupnya.

Saat mulai kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bulantrisna mulai mengajar tari Bali di berbagai sanggar. Bulan juga turut mengawali pendirian Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Bandung pada 1972.

Pada 1994, Bulan mendirikan bengkel tari ‘AyuBulan’, tempatnya melatih tarian klasik keraton Bali: Legong. Itulah awal kelahiran mahakarya dramatari Legong Asmarandana, Palegongan Witaraga, dan Legong Mintaraga, yang telah dipentaskan di berbagai panggung mancanegara.

Dalam menari Ayu Bulantrisna juga berkolaborasi dengan maestro tari lainnya. Dengan Retno Maruti misalnya, mereka mulai mementaskan ’The Amazing Bedaya Legong Calonarang’ di Jakarta pada 2006.

Di tengah kesibukannya mengelola berbagai lembaga kedokteran nasional dan internasional, Ayu Bulantrisna kini fokus mengembangkan tari klasik topeng Bali. Bersama beberapa budayawan Bali, diantaranya Cok Sawitri, dia menciptakan tari Topeng Sitarasmi, Topeng Sita Lumaku, Topeng Panji, dan Rengganis.

 

Bergerak Dengan Hati

Dalam usia senja, ternyata biang (panggilan bahasa Bali untuk ibu) masih saja terus menari, mengajar, dan mencipta. Dorongan untuk melawan kegundahan akibat ketimpangan, ketidak adilan, dorongan untuk ikut membangkitkan semangat menjadikan Indonesia sebagai tempat yang lebih baik untuk anak cucu, dengan cara biang. Ada kemungkinan, dorongan kuat ini karena biang ini seorang “indo”, yang berayah Bali dan beribu Belanda. Sejak kecil dibesarkan dalam dua budaya, dua bahasa, membuat biang makin erat berpegangan pada akar keindonesiaan. Walaupun menikmati lagu barat, orkes simfoni, dan opera, kain kebaya adalah kostum favorit, soto adalah makanan kesayangan, dan menari Bali adalah hasrat dan kesenangan biang.

Pesan biang untuk para pemimpin dan generasi muda: menari bukanlah bergerak mempertontonkan tubuh untuk mendapatkan tepuk tangan penonton. Kegembiraan, pelepasan emosi terpendam, kreativitas, bergerak menurut pola dengan penjiwaan yang penuh, mempunyai makna … berbagi dan berdoa, membuat kesadaran keindahan ciptaanNya atau kegundahan atas ketidaksempurnaan. Ketika menari terasa ada sejarah mengalir dalam darah, bahwa Indonesia telah melalui berbagai jaman. Leluhur kita telah melampaui masa animis, berbagai agama yang lebih tua hingga kini dominan Islam. Dengan menari, kita menyadari dengan dalam, bahwa kita tidaklah sama dengan bangsa manapun, bahwa sepatutnya kita merayakan perbedaan, penuh kedamaian.

Melalui tari, sejak kecil biang mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Biang pernah berfoto dengan Presiden Sukarno dan berbagai tokoh dunia. Biang juga bertemu dengan masyarakat berbagai daerah Indonesia. Melalui pertunjukan bersama dan misi kesenian yang terdiri dari berbagai jenis tarian etnis, biang belajar menghargai budaya daerah lainnya, menyadari bhineka tunggal ika, dan bangga menjadi bagian dari Indonesia.

Melalui bengkel tari Ayu Bulan, di luar profesi sebagai dokter dan pengelola organisasi kesehatan internasional, setiap waktu senggang biang mengajari tari Bali kepada murid di luar Bali… yang berasal dari beberapa daerah, yang semuanya mencintai tari Legong. Biang bertujuan untuk membuktikan bahwa penari bukan berarti bodoh. Biang mengajak mereka agar menjadi penari yang baik, bermartabat, berpendidikan dan mempunyai pengetauan, dan pandangan hidup yang luas, dengan harapan mereka selanjutnya juga menghasilkan generasi muda yang menghargai seni secara tulus.

Inilah seruanku untuk para pemimpin dan para pemuda-pemudi harapan bangsa: hargailah para seniman tari yang berbakti dan berkharisma di berbagai pelosok negeri, pada setiap jamannya, jadikanlah mereka ikon dan duta kebanggaan bangsa! Tari Bali begitu pula tari Sumatera, tari Jawa, tari Dayak, tari Sulawesi, tari Papua, dan lainnya, semua adalah bagian dari untaian kalung mutiara budaya Indonesia yang harus dicintai, dipelihara, dan dikembangkan agar tetap sesuai dengan panggung masa kini, tanpa menghilangkan makna. Tarian secara umum mempunyai makna universal dan hakiki yang bisa menjadikannya milik semua dan menjadi pemersatu bangsa dari Sabang hingga Merauke.

Kesenian Bali hanyalah contoh bagaimana menjadi puncak kebanggaan seluruh bangsa… dimana pun berada, angkatlah kesenian daerahmu agar hidup kembali, sediakan sarananya dan tempat untuk berkreasi, panggung yang disesuaikan budaya setempat. Pendopo, taman, kalangan, mungkin lebih sesuai, asalkan disertai teknologi audiovisual sesuai masa kini. Jangan begitu saja meniru panggung megah bergaya barat, tapi tirulah teknologi pencahayaan dan infrastruktur lainnya. Begitu pula dengan koreografi tariannya, tetaplah berpegang pada etika kita, karena jika mencampurkannya begitu saja dengan kebebasan barat, akan terasa vulgar karena itu memang bukan budaya kita.

Apapun bentuknya, entah tarian rakyat, tarian pergaulan, tarian klasik, tarian kontemporer, atau avant garde, tarian ritual maupun tarian festival yang “ekstravaganza” yang kini mulai marak, bila kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dan menggalinya dari khasanah budaya sendiri, akan menghasilkan sesuatu yang besar, bermutu dan menakjubkan. Jangan menganggap salah satu jenis lebih superior, biarkanlah semua hidup berdampingan bahkan tumpang tindih, karena semuanya mempunyai komunitas pencintanya masing masing.

Agar tarian kita tidak diakui menjadi milik bangsa lain, maka kita perlu bekerja keras untuk menjadikannya sebagai salah satu “pusaka” kita yang sangat berharga. Ternyata, ketika tari Pendet, Tortor, dan Reog diakui sebagai milik negara tetangga, bukan hanya warga Bali, Batak, dan Jawa yang protes, melainkan seluruh masyarakat Indonesia.. itulah “menjadi Indonesia”!

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Ayu Bulantrisna Djelantik, Hal: 10-12.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Martabat Seorang Penari”

Leave a Reply