Kisah Si Tukang Kain

Des 06, 2014 No Comments by

Setiap memperkenalkan diri, perempuan lembut ini selalu menyebut dirinya tukang kain. “saya memang bukan desainer,” katanya merendah.

Obin tercatat sebagai satu di antara penegak trend di dunia batik. Pada sekitar dua dasawarsa lalu, orang masih malu-malu berkebaya dan berjarit batik menghadiri pesta. Obin mendobraknya dengan suguhan kain-kebaya batik kontemporer.

Kini produk fashion Obin tak lagi bisa dipisahkan dengan kultur berbusana perempuan di negeri ini, terutama di perkotaan. Sentuhan kain khas Obin menginspirasi banyak produk batik. Megawati Sukarnoputri, Richard Gere, juga Julia Robert, termasuk dalam daftar pembeli produk Bin House. Keahliannya mengolah kain membuat produk Bin House lebih dari sekadar baju. Ada kisah yang muncul di setiap helai kainnya.

Obin rajin “berburu” staf di kantung kemiskinan di pelosok Banten. “Selama ini mereka rawan menjadi target rekrutmen kelompok garis keras”, katanya. “Tak boleh kita biarkan kemiskinan merenggut indonesia yang bhinneka menjadi Indonesia yang berpikiran sempit”.

Rumah Obin di menteng, Jakarta Pusat, merupakan persinggahan yang hangat. Pembeli diperlakukan layaknya keluarga. Di rumah yang selalu berhias kain merah-putih dan roncean kembang melati ini, Obin memupuk jejaring komunitas. Saling tolong pun dengan mudah dikoordinasi Obin, seperti ketika terjadi banjir di Jakarta, tsunami di Aceh, gempa di Yogya, sampai kelaparan di Yahukimo, papua. “Bisnis dan komunitas saling melengkapi, saling merawat,” katanya.

Adik-adikku, Perkenalkan, saya Obin Komara, tukang kain. Saya bukan pembatik atau seniman. Pekerjaan saya, ya, mengusahakan kain-kain tradisional khas Indonesia punya nyawa dan hidup kembali. Sebab, pada kain-kain itulah, tenun, batik, ikat, terletak memori kebudayaan bangsa kita yang bermacam-ragam. Saya mengolah kain-kain tradisional yang kaya itu dengan sentuhan baru, yang kreatif, sehingga bernyawa dan segar kembali.

Saya jatuh cinta pada kain, terutama batik, bukan baru belakangan ini. Sejak kecil, saya melihat Mama saya mengoleksi kain-kain batik dari berbagai lokasi. Ada motif pesisir, motif peranakan, motif keraton, semuanya disimpan rapi. Wanginya selalu hidup dalam diri saya, di mana pun saya berada.

Lalu, pada suatu hari pada tahun 1980-an, usia saya saat itu 30-an, saya dalam keadaan limbo. Sedih sekali karena persoalan hidup. Saya terduduk lama di Pasar Klewer, Solo. Saya menyaksikan perempuan-perempuan begitu bahagia tenggelam dalam tumpukan dagangan batik. Wangi kain-kain itu menghidupkan kembali kenangan masa kecil. Seketika itu juga saya bertekad, saya akan menghidupkan kembali nyawa batik.

Saya menghimpun para pengrajin batik dari berbagai wilayah, mengarahkan fokus pada motif dan detail, lalu merancang gaya fashion yang pas dengan gaya urban. Tidak mudah memang. Semua itu membutuhkan konsistensi, kesetiaan, hati, dan kecintaan.

Saya tidak mengandalkan pengetahuan fashion dan manajemen modern, karena saya cuma lulusan SMP. Orangtua saya menyekolahkan saya di Hong Kong. Dan, itulah masa-masa saya belajar tentang gaya busana. Saya selalu terpesona melihat gaya orang-orang berbusana di Pelabuhan Wanchai. Buruh-buruh bercelana katun gaya baggy, para petingginya mengenakan setelan jas gaya Inggris. Syal, selendang, sarung, semua warna-warni. Semuanya indah.

Di usia 14, saya kembali ke Jakarta. Kelak, gaya busana yang saya saksikan di Hong Kong itulah yang memperkaya gaya fashion Obin. Celana baggy super longgar dengan bahan batik adalah salah satu trade mark Bin House. Begitu pula blus dengan gaya cutting, lipatan, dan sentuhan detail yang tak biasa.

Syukurlah, bersama tokoh batik yang juga bersemangat sama seperti Iwan Tirta, kerja keras kami berbuah. Kini batik begitu meluas. Kita bangga memakainya di kesempatan apa saja. Pada 1980-an, saat saya memulai Bin House, orang malu pakai kebaya dan berkain batik, apalagi di resepsi kelas atas. Batik dulu dianggap kuno dan kaku. Sekarang, orang bangga berkebaya dan berkain batik yang modelnya beraneka ragam. Di resepsi papan atas di Jakarta, saya bisa dengan mudah mengenali kebaya dan kain produksi Bin House.

Adik-adikku, Saya bukan ingin membanggakan diri atas pencapaian Bin House, yang kini sudah ada tersebar di Jakarta, Bali, Tokyo, Singapura, dan New York. Saya juga tidak bangga Bin House jadi tempat tujuan belanja para diplomat, pejabat, dan selebritas dunia yang mampir ke Jakarta. Bukan itu yang membanggakan saya.

Yang ingin saya tekankan adalah betapa pentingnya berkontribusi untuk lingkungan sekitar, apa pun bidang yang kita tekuni. Kita boleh menjadi seniman, aktivis, pengusaha, wartawan, penulis, apapun, tapi jangan lupa membangun dan tumbuh bersama komunitas. Kebanggaan saya adalah ketika saya menyaksikan ada begitu banyak keluarga dan komunitas yang turut menikmati bergeraknya rantai produksi Bin House.

Bin House menerapkan resep 3C, yakni content, communication, and community. Saya tidak tahu apakah ini ada dalam pelajaran manajemen modern karena saya melakukan bisnis dengan otodidak, sembari kesandung di sana-sini. Dan, saya yakin resep 3C ini berfungsi untuk segala macam jenis kegiatan dan profesi.

Content. Itulah materi utama yang menjadi “jualan” kita, entah itu berupa barang atau jasa. Keseriusan kita mengolah dan menjadikan “jualan” kita bermutu nomor wahid dan memuaskan konsumen, itulah yang utama.

Pada konteks Bin House, content “jualan” kami bukan cuma batiknya tapi juga the story behind. Bagaimana detail kain dibuat, batik berbahan kain kashmir, juga syal yang dibuat dengan teknik celup khusus, semua diceritakan pada konsumen. Ada cerita di balik semua produk. Termasuk juga para pembuatnya, yang banyak saya ambil dari daerah-daerah miskin dan kerap jadi sasaran rekrutmen kelompok radikal. Semua itu adalah kisah yang disampaikan kepada konsumen dan menghidupkan produk Bin House.

Communication. Apa yang kita “jual”, barang atau jasa, tidak akan disambut oleh masyarakat jika tidak disampaikan, dikomunikasikan dengan baik. Carilah metode dan cara yang paling optimum. Buatlah engagement dengan klien. Saya menerapkannya dengan menciptakan suasana hangat kekeluargaan di semua gerai toko kami, lengkap dengan ronce kembang melati dan suara kecapi. Itu sebabnya saya namai “Bin House”, bukan Bin Store atau Bin Boutique.

Community. Suasana hangat kekeluargaan yang kita ciptakan dengan sendirinya membangun sebuah komunitas yang loyal. Para pembeli produk Bin House tak jarang yang satu keluarga tiga generasi. Emaknya, anaknya, cucunya, semua pake produk Bin House. Fase-fase penting dalamhidup mereka, menikah, punya anak, punya mantu, ditandai dengan kain-kain buatan Bin House.

Komunitas yang terbentuk dan diikat oleh Bin House ini pun tak segan turun tangan ketika situasi krisis muncul. Pada 2002 dan 2007, Jakarta banjir. Saya dengan mudah colek kanan-kiri, kebanyakan adalah klien Bin House, untuk menyumbang obat, makanan, baju, terpal, untuk korban banjir.

Adik-adikku, Ketika kita berkontribusi pada komunitas, jangan anggap bahwa diri kita adalah pihak yang selalu memberi. Faktanya, kita akan lebih banyak menerima, dalam bentuk materi ataupun nonmateri. Komunitas dan entitas bisnis akan saling merawat. We take care of each other and we grow together. Bukankah itu yang dibutuhkan Indonesia?

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Obin Komara, Hal: 221-223.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Kisah Si Tukang Kain”

Leave a Reply