Kepak Garuda Menembus Dunia

Feb 28, 2015 No Comments by

Di tangan Sudhamek, kacang tanah naik pamor. Lewat label Garuda, dari jajanan ndeso, kacang naik jadi kudapan modern. Dari perusahaan yang dikelola keluarga di Pati, Jawa Tengah, Sudhamek membawa Garuda Food menjadi perusahaan dengan manajemen profesional.

Awalnya, perusahaan keluarga itu hanya menangani produksi kacang kulit. Namun Sudhamek terpikir mendandani distribusinya dan membuat merk. Ini bukan perkara mudah. Pasalnya, saat itu tak ada produk kacang yang memakai merk. dari kacang kulit, lalu merambah kacang atom, hingga makanan kecil lainnya.

Sudhamek mengaku tak pintar saat sekolah. Tapi semangatnya melambung saat kuliah ekonomi di Universitas Satya Wacana. Selepas kuliah, dia bekerja di pabrik rokok Gudang Garam. Keputusan ini disesalkan ayahnya, darmo putro. “Biarpun kecil, jadilah tuan sendiri dalam hidup ini,” pesan ayahnya. Usai 13 tahun berkarir, Sudhamek balik kandang ke perusahaan keluarganya. Walau dia bungsu dari 11 bersaudara, namun dia dipercaya memimpin.

Lewat Garuda Food, Sudhamek tak hanya mencari sesuap nasi. Dia ingin menjadikan perusahaan itu sebagai spiritual company. Ia ingat ayahnya pernah menantangnya, agar ajaran agama bisa diterapkan dalam bisnis. Dia melihat, bisnis tak lepas dari lingkungan yang lebih luas, termasuk agama. Baginya, bisnis harus memberikan kontribusi positif bagi dunia sekitarnya.

Dengan falsafahnya ini, perusahaannya tumbuh. Dari satu pabrik di Pati, kini ia memiliki delapan pabrik. Karyawannya berlipat dari 600 menjadi 18 ribu orang. Selain menguasai pasar nasional, produk Garuda Food juga menembus pasar dunia di lima benua.

 

Nasib di Tanganku Sendiri

(Melalui Transformasi Diri & Budaya Pembelajaran)

Di bukit Muncul di Salatiga pada tahun 1978 saya pernah bernazar: Seandainya Tuhan memperkenankan, saya ingin hidup dengan menciptakan kebermaknaan bagi banyak orang. Setelah selama delapan tahun menjadi profesional di sebuah perusahaan rokok di Indonesia, pada awal tahun 1991 saya hijrah ke Jakarta untuk bekerja di kelompok usaha lainnya.

Pada waktu hijrah ke Jakarta itulah awal dari perjalanan hidup babak kedua saya. Kakak-kakak saya meminta untuk membantu perusahaan keluarga. Mereka bilang, “Jika kamu bisa cukup berhasil di perusahaan besar milik orang lain kenapa tidak membesarkan perusahaan keluarga sendiri?”. Dari situlah saya mulai benar-benar membantu menumbuh kembangkan perusahaan Garuda Food. Diawali dengan produk tunggal, yaitu kacang kulit, kini Garuda Food Group sudah menjadi perusahaan makanan dan minuman yang sudah go regional.

Pengalaman bekerja sebagai profesional selama 13 tahun justru membuat saya bisa mengintegrasikan pemikiran dari dua sisi, baik sebagai “shareholder” untuk dapat berkomunikasi dengan baik ke kakak-kakak saya, sekaligus sebagai “professional” kepada karyawan saya. Saya dituntut belajar banyak hal tentang manajemen, leadership dan bagaimana mengelola sebuah korporasi berlandaskan pada budaya kompetitif yang dibangun dari “scratch”. Secara aggregate orang memandang perjalanan hidup saya sebagai sebuah kisah sukses. Namun bukan berarti saya tidak mengalami kegagalan. Kegagalan adalah learning lessons yang menjadi guru terbaik bagi saya. Oleh sebab itu saya tidak ingin larut dalam meratapi kegagalan, yang penting kita belajar dari kekeliruan dan terus bangkit kembali untuk tumbuh ke tahap berikutnya.

Kalau ditanya orang: Apa yang membuat perjalanan hidup saya bisa sampai di sini, maka jawaban yang seketika muncul di benak saya adalah: Will Power. Dalam keluarga, saya bukan anak yang terpandai. Dari sejak SD hingga SMA, saya bahkan tidak pernah meraih gelar juara. Prestasi akademik baru saya raih waktu di bangku kuliah. Saya meraih double degree dari Fakultas Ekonomi dan sekaligus Fakultas Hukum UKSW. Jika saya renungkan kembali, maka itu semua terjadi karena ketekunan dan keuletan saya. Selain itu, saya juga memiliki learning culture yang kuat ditunjang dengan kemauan keras dalam mengerjakan apapun. Semua saya kerjakan dengan sungguh-sungguh dengan tidak mengenal lelah apalagi menyerah. Itu semua menjadi sumber energi saya dalam mentransformasikan diri sehingga potensi yang saya miliki dapat manifest dengan optimal. Sudhamek, si anak bungsu, yang dulunya sulit bergaul dan selalu berdiri di pojok ruangan menanti disamperin teman, sekarang bergaul hampir dengan semua kalangan yang berbeda latar belakang. Sudhamek yang dulu kalau berbicara terlalu cepat sehingga sulit dipahami, sekarang bisa menjadi salah satu pembicara publik. Saya percaya bahwa “Teaching is learning”. Untuk itu saya selalu mengasah pengetahuan yang saya miliki dengan terus mengajar. Dengan mengajar saya “dipaksa” untuk terus belajar, salah satunya melalui buku. Buku telah menjadi guru terbaik saya. Buku juga membantu saya tidak cepat pikun karena saya memang benci menjadi pikun. Ribuan buku telah saya baca, saya rangkum dan simpan dalam Ipad atau BlackBerry yang selalu menemani saya. Saya setuju bahwa “Intelligence is all about memory”. Oleh sebab itu saya selalu merawat dan mengembangkan segala sesuatu yang saya pelajari.

Budaya pembelajaran (learning culture) ini juga mewarnai pembangunan budaya yang ada di Garuda Food Group. Kami membangun sebuah competitive culture di mana spiritualitas dan kompetensi (professionalisme) adalah ciri “Pribadi unggul” yang ingin kami bangun. Di perusahaan kami, dikenal ungkapan: “Bekerja itu adalah belajar yang dibayar” dan juga “Kerja adalah ibadah”. Melalui budaya pembelajaran, setiap insan akan didorong untuk selalu melakukan pengembangan diri. Pengembangan diri melalui self transformation ini adalah sesungguhnya tujuan utama dari kehidupan kita. Dan itu hanya bisa terjadi apabila kami tetap sebagai “the beginner’s mind” dan memiliki “listening skill”. The beginner’s mind adalah paradigma berpikir sang pemula yang selalu terbuka pada segala kemungkinan atau pandangan baru. Namun tantangannya adalah, pada umumnya setelah kita mengetahui atau menguasai suatu hal atau bidang, maka biasanya paradigma kita akan bergeser ke arah the expert’s mind. Jika ini terjadi, maka pada saat itu juga, kita akan berhenti belajar dan tidak akan menjadi pembelajar seumur hidup (life long learner).

Untuk menjadi pembelajar seumur hidup (self transformation), kita perlu memiliki listening skill. Bagi saya, mendengar itu tidak hanya dengan telinga, namun juga mata, perhatian yang penuh dan hati yang terbuka. Sementara “kerja adalah ibadah” (Labora est Ora) di group kami itu dilandasi oleh pandangan bahwa kerja (dan bisnis) dengan ibadah serta pelayanan itu hanya untuk dipilahkan tapi tidak untuk dipisahkan. Untuk itu spirituality at work kami terjemahkan menjadi serangkaian kegiatan sehari-hari dalam perusahaan kami. Menjalankan tugas adalah wujud ibadah itu sendiri. Bisnis dan kerja adalah pelayanan kepada sesama jika dilakukan dalam suatu semangat pelayanan bagi sesama. Ikrar yang pernah tercetus dalam diri saya di tahun 1978 di atas, akhirnya saya wujudkan menjadi sebuah gagasan dan upaya membangun sebuah Spiritual Company, sebuah komunitas bisnis yang terdiri dari spiritual beings tanpa melupakan pentingnya mengembangkan kompetensi dari ujung ke ujung sehingga siap menghadapi persaingan global.

Saya adalah orang yang tidak mau terjebak dalam dualisme. Saya tahu bahwa phenomena kehidupan itu bersifat paradoks. Namun semua itu sesungguhnya bisa kita rekonsiliasikan dan integrasikan. Oleh sebab itulah dalam setiap organisasi yang saya pimpin, baik organisasi bisnis maupun sosial keagamaan, saya selalu mengintegrasikan nilai-nilai tersebut (spiritualitas & professionalisme) karena justru itulah yang menyebabkan sebuah organisasi bisa langgeng (sustainable).

Kepada generasi muda, calon pemimpin masa depan, seorang pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang melayani dan mempunyai hasrat untuk mengembangkan orang lain. Ia harus bisa menjadi role model. Sebelum ia mampu memimpin orang lain, ia harus mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebelum ia mengubah orang lain, ia harus mampu mengubah dirinya sendiri. Hidup itu tidak hanya untuk mengejar kesuksesan tapi juga harus bermakna (From success to signifcance).

Hidup bukan hanya untuk diri sendiri melainkan bagaimana berfaedah bagi banyak orang lain.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Sudhamek AWS, Hal: 262-264.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan, Pertumbuhan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Kepak Garuda Menembus Dunia”

Leave a Reply