Ke Titik Awal, Kembali untuk Indonesia

Des 20, 2014 No Comments by

Sejauh-jauh elang terbang, akan kembali juga ke muasalnya. Sejauh-jauh Riri Riza menimba pengalaman di berbagai belahan dunia, dia akan berdedikasi membuat film di indonesia. “Yang paling berkesan adalah saat akhirnya semua kembali ke titik awal,” katanya.

Seperti Mira Lesmana, Riri Riza juga jadi ikon kebangkitan film Indonesia. Dia melahirkan sejumlah film berkualitas yang sukses menembus pasar, dan yang terpenting menggairahkan dunia perfilman yang kehabisan darah. Bagi Riri, film merupakan media ide yang di antaranya menjadi sarana mengenali diri sendiri lebih dekat. “Masih banyak masalah di sekitar kita,” katanya.

Laskar Pelangi, film karyanya yang dirilis pada september 2008, memecahkan rekor sebagai film terlaris Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak dan mendapat beberapa penghargaan, di antaranya SIGNIS Award dari Hong Kong International Film Festival 2009. Laskar Pelangi terpilih tayang di ajang Berlin international Film Festival (Berlinale) 2009 dan di lebih dari 20 festival film internasional di lima benua.

Duetnya dengan Mira Lesmana juga membuahkan Ada Apa Dengan Cinta (2002), yang ditonton dua juta pemirsa Indonesia, jumlah yang fantastis bagi film produksi nasional kala itu. Dua tahun sebelumnya dia merilis Petualangan Sherina, sebuah drama musikal yang bertengger di jajaran box office.

Riri membukukan prestasi pertamanya, memenangi penghargaan pada festival film pendek di Oberhausen, Jerman, 1994, dengan Sonata Kampung Bata. Film ini kemudian ditayangkan di beberapa festival di Asia, Eropa, dan Amerika. dia meraih prestasi itu setahun selepas belajar penyutradaraan di Institut Kesenian Jakarta.

Teman-teman,
Semoga saat membaca surat ini anda semua dalam keadaan baik. Saya ingin cerita tentang bagaimana pekerjaan saya membawa saya mengenali diri sendiri. Ya, saya bekerja dalam medium seni yang paling atraktif dari sekian banyak media lain. Mungkin karena saya percaya ungkapan Arifen C Noer bahwa sinema adalah karya seni yang paling mampu menangkap kompleksitas zaman ini.

Sinema membawa saya ke berbagai belahan dunia: menunjukkan Eliana Eliana di Vancouver, menerima penghargaan untuk film Gie di Singapura, mendiskusikan Laskar Pelangi di Berlin, atau menjadi juri festival film di Teheran. Hal-hal itu melengkapi kegembiraan saya dalam membuat film. Namun yang paling berkesan adalah saat akhirnya semuanya kembali ke titik awal, ketika saya kembali membuat film di Indonesia.

Sinema juga membawa saya menjelajah wilayah timur Indonesia. Ke kota Atambua di perbatasan Timor Leste dan Indonesia.

Tetapi apa hubungan saya, sinema, dan Atambua?

Teman-teman, kerja utama seorang pembuat film adalah mencari cerita yang bisa disampaikan dengan sangat spesifk, atau biasa disebut bercerita secara sinematik. Bercerita menyampaikan kisah manusia dan berbagai mimpinya dengan menggunakan lensa, sudut pandang, nuansa gambar begerak, dan juga unsur suara. Namun di atas itu, film sebaiknya adalah media ide, yang bicara tentang satu hal krusial tentang bangsa, dan memberi kesempatan pada pembuat dan penontonnya mengenali dirinya lebih jauh.

Masyarakat Timor adalah masyarakat yang unik. Mereka sering dipaksa berpindah-pindah dalam pulau yang ditinggalinya itu. Puncaknya saat ratusan ribu orang eksodus dari Timor Timur di akhir tahun 1999. Mereka yang terpaksa pindah karena perbedaan pandangan politik. Terutama masyarakat yang tidak setuju dengan kemerdekaan Timor Leste dan telah kalah suara dalam referendum. Sebagian besar dari mereka kemudian bergerak untuk mencari tempat baru.

Pernahkah teman berpikir bagaimana nasib suatu budaya dalam satu wilayah geografs tiba-tiba terpecah secara politis menjadi dua negara? Apalagi terpecah dalam suasana bau mesiu dan darah? Bagaimana nasib anak-anak yang tumbuh tanpa orangtua, di mana pendidikan terbelengkalai, dan tempat hidup di bawah standar kelayakan?

Saya tergerak untuk melihat persoalan tersebut hari ini, 13 tahun setelah kemenangan pro-kemerdekaan Timor dalam referendum. Saya ingin memotret saudara kita di Timor hari ini dalam sinema. Sebuah tanah dengan lanskap dan sinar matahari yang indah namun sering terlupa.

Masih banyak persoalan selain Timor. Kita masih hidup di tengah soal lumpur Lapindo, misteri penculikan aktivis, terbunuhnya cak Munir, hingga korupsi pejabat dan politisi yang memalukan.

Namun meski begitu, saya melihat sinema sebagai sebuah proses yang menarik. Terutama ketika seluloid merekam gambar melalui proses kimiawi terhadap cahaya. Gambar terekam dalam imaji negatif lalu dicuci untuk memunculkan gambar positif. Mungkin sentimental, tapi saya mengajak teman semua untuk merekam semua pengalaman buruk bangsa kita, baik hari ini atau sedikit mundur ke belakang. Tak lain untuk menjadi diri yang lebih positif di masa depan. Seperti di Timor, konfik dan kemiskinan seolah tidak menghalangi perempuan di sana melahirkan karya tenun yang sebagian adalah sebuah masterpiece.

Selain cerita Hatta, Soekarno atau Sjahrir, Indonesia punya kisah Raden Saleh, Chariril Anwar, Affandi, Ismail Marzuki, Usmar Ismail, Ibu Sud, Romo Mangun, Teguh Karya, hingga Andrea Hirata novelis yang kini membangun desanya di Belitong. Orang-orang ini sebaiknya tidak kita lupakan untuk jadi bagian dari warna hidup kita hari ini. Karya mereka adalah bukti bahwa tanah dan bangsa ini benar-benar adalah sumber inspirasi. Mengingat karya mereka, kelakuan buruk yang ditunjukkan sebagian penguasa dan politisi hari ini seperti soal minor yang tidak perlu mengganggu suasana hati kita untuk maju ke depan.

Saya bersyukur karena hingga hari ini saya dapat bekerja dengan tulus dan nyaman. Semoga teman-teman pun demikian.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Riri Riza, Hal: 228-230.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Ke Titik Awal, Kembali untuk Indonesia”

Leave a Reply