Ilmu Wawancara

Apr 29, 2015 No Comments by

Masalah perekrutan juga bisa terjadi, bahkan sejak awal. Misalnya saja, tes yang diberikan bisa saja sudah banyak dijual di toko buku sehingga kandidat tertawa terbahak-bahak karena sudah tahu kuncinya. Begitu juga cara mewawancara, sudah banyak buku yang menjelaskan cara menghadapi wawancara sehingga perekrut yang tidak up-to-date dengan ilmu-ilmu wawancara bisa salah memilih kandidat hanya karena dia mengetahui jawaban yang tepat. Sebaliknya, pewawancara bisa tidak memilih kandidat bagus yang jawabannya tidak lancar karena sang kandidat belum pernah membaca buku 10 Jawaban Terbaik Saat Wawancara.

Saya pernah membaca sebuah buku semacam itu. Buku itu menasihatkan bahwa kandidat perlu bersiap-siap menjawab pertanyaan seperti: “Apakah kelebihan atau kekuatan Anda?”

Untuk pertanyaan tentang “kelebihan”, kandidat tidak perlu berkeringat, cukup menjawab apa adanya. Yang menarik adalah pertanyaan yang berbunyi: “Apakah kelemahan Anda?” Di sini buku itu merekomendasikan agar sang kandidat menjawab: “Saya ini workaholic atau tidak kenal waktu.” Artinya mereka akan bekepja mati-matian sampai di luar jam kerja. Jawaban lain yang dianjurkan adalah: “Saya seorang perfeksionis.” Artinya mereka berusaha untuk melakukan hal yang terbaik.

Jawaban ketiga yang direkomendasikan adalah: “Saya orangnya emosional kalau melihat rekan sekerja atau anak buah tidak jujur.” Artinya mereka ini sangat jujur.

Dengan kata lain, buku-buku itu mengajarkan kandidat untuk menjawab kelemahan mereka sebagai kelebihan. Tampaknya, buku-buku semacam ini cukup populer karena cukup banyak orang yang saya wawancara menjawab salah satu atau salah dua dari ketiga jawaban itu. Pewawancara yang belajar ilmu wawancara setelah membaca buku yang sama bisa menjadi sangat keheranan karena semua kandidatnya menjawab dengan sangat tepat.

Masalah lain juga bisa bermunculan dari sejak kandidat masuk kerja sampai mereka keluar. Isi kontrak, perhitungan gaji, perhitungan pajak, perhitungan insentif, bonus, penilaian kinerja, promosi, mutasi, demosi, absensi, asuransi, keterlambatan, pelanggaran, dan lain-lain. Ribuan hal bisa dan akan berjalan tidak lancar suatu saat. Semakin besar dan bervariasi bisnis sebuah perusahaan, semakin rumit masalah yang dihadapi SDM untuk menciptakan Iingkungan kerja yang menyenangkan.

Pendapat Non-SDM vs SDM

Sebuah percetakan rnengalami penurunan penjualan yang cukup drastis. Sang direktur utama akhirnya rnemanggil semua manajernya. Ketika tiba giliran manajer penjualan, beliau bertanya.

“Bagaimanakah pendapat Anda tentang situasi perusahaan kita?”

Sang manajer berpikir sejenak dan menjawab, “Menurut saya masih normal-normal saja, Pak.”

“Artinya apa normal-normal saja itu?” tanya sang direktur.

“Sebelum bekerja di sini, saya sudah bekerja di beberapa tempat, Pak. Menurut saya tempat kita ini tidak banyak bedanya dengan tempat-tempat lain. Ada karyawan yang puas, ada yang tidak puas, tapi belum sampai ada keinginan untuk demo dan lain-lain.”

Sang direktur mengangguk lega. Namun, ketika beliau menanyakan hal yang sama pada manajer SDM, sang manajer menjawab: “Ada 4 hal yang terjadi di perusahaan kita, Pak.”

“Pertama, kita tidak punya karyawan yang bagus. Hal ini karena gaji yang kita bayarkan kurang kompetitif di pasar. Akibatnya, kita hanya bisa merekrut fresh graduate dan sering ditinggal karyawan yang unggul.”

“Kedua, karyawan kita tidak seproduktif pesaing. Hal ini karena kita tidak pernah menguji kemampuan mereka maupun memberikan training untuk meningkatkan kemampuan mereka:”

“Ketiga, kepemimpinan dan keanakbuahan kita lemah sekali. Hal ini karena atasan mereka begitu ‘overload’ sehingga tidak sempat duduk dan me-review pekerjaan anak buah. Mereka telah “turun pangkat” menjadi salah satu dari anak buah itu.”

“Keempat, suasana kerja kita sangat buruk. Hal ini karena bebrapa orang tidak puas dengan hidupnya dan menyebarkan cerita itu ke para karyawan. Namun, eselon tinggi bukan hanya tidak melakukan apa-apa, bahkan merekalah yang suka membakar ketidakpuasan anak buah melalui komentar-komentar mereka yang panas.”

Sang direktur terhenyak dan memandang wajah manajernya yang tampak serius. Jelaslah bahwa dirinya sendiri juga harus belajar siapa yang perlu ditanya untuk masalah jenis apa.

Seperti yang sempat disinggung pada bab sebelumnya, salah satu tantangan bagi departemen SDM adalah membuat keputusan yang adil secara konsisten. Beberapa karyawan non-SDM yang telah membaca beberapa buku manajemen SDM tanpa bergumul dengan masalahnya dari hari ke hari akan sulit untuk benar-benar mengerti perjuangan SDM agar bisa benar-benar adil.

Makin besar sebuah perusahaan, semakin sulit untuk menyamakan persepsi tentang apa yang disebut keadilan itu. Suatu keputusan untuk seorang karyawan memang sebaiknya berlaku bagi semua orang lain. Namun, SDM menghadapi sebuah kasus yang mirip tidak berarti bahwa kasus itu harus mendapatkan keputusan yang sama. Mempertimbangkan keputusan yang lalu dan dampak keputusan itu bagi masa depan inilah yang sering mengakibatkan proses pengambilan keputusan yang lama.

 

Kasus Karyawan Terlambat

Berikut ini adalah kisah yang diceritakan oleh seorang eksekutif di perusahaan perkebunan.

Dua orang karyawan datang terlambat. Yang satu datang terlambat karena motornya rusak di jalan. Yang satu karena mengantar istrinya ke rumahsakit. Manajer SDM memutuskan untuk memaafkan keduanya dengan teguran lisan.

Dua minggu kemudian, kembali kedua karyawan itu terlambat. Karyawan pertama kembali menunjukkan bahwa motornya yang memang sudah tua rusak lagi. Karyawan yang satunya kali ini terlambat karena berhenti di jalan untuk membantu orang yang ditabrak mikrolet. Keduanya memiliki bukti yang menguatkan cerita mereka.

Manajer SDM berpikir keras tentang apa yang harus dia lakukan. Akhirnya, dia mengambil keputusan untuk memberikan Surat Peringatan 1 pada karyawan yang pertama saja. Seperti yang telah diduganya, karyawan pertama mengadukan masalah itu pada direktur SDM. Segera direktur SDM memanggil manajer SDM untuk mengetahui alasannya memberikan SP 1.

“Karyawan pertama memiliki masalah yang sama untuk kedua keterlambatannya Pak, yaitu motornya. Apa pun alasannya, dia seharusnya dapat mengantisipasi bahwa motornya yang sudah pernah rusak akan rusak lagi. Karyawan kedua sebaliknya menunjukkan bahwa dia mengaplikasikan nilai yang kita percayai, yaitu “Hormat pada sesama manusia”. Bagaimana saya harus menjelaskan pada karyawan lain bahwa saya menghukum karyawan yang mempraktikkan nilai kita?”

Pihak luar, mungkin melihat seorang praktisi SDM dari kemampuannya untuk melakukan payroll secara lancar, administrasi absensi, dan lain-lain. Tetapi, mutu seorang praktisi SDM sungguh tergantung dari kebijaksanaannya dalam membuat keputusan sehingga berdampak positif bagi kinerja seluruh karyawan lainnya pada hari-hari mendatang.

Disarikan dari buku: Mengapa Departemen SDM Dibenci?, Penulis: Steve Sudjatmiko, Hal:87-92.

Pengelolaan, Sumberdaya Manusia

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Ilmu Wawancara”

Leave a Reply