ICW Seolah Nama Tengahnya

Jan 11, 2014 No Comments by

Berhenti mengurus Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki tetap saja diidentikkan dengan organisasi antikorupsi itu. ICW, barangkali, sudah seperti nama tengahnya. Ini hal yang wajar. Maklum, Teten, bersama sejumlah aktivis, ikut berperan melahirkan ICW pada 1998, sebulan setelah Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaannya.

Organisasi itu bukan semata wujud perayaan kebebasan yang merupakan buah reformasi, cuma berhenti di euforia kelonggaran berserikat. Hanya setahun setelah aktif, ICW membuat kegemparan dengan membeberkan dugaan suap Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Gara-gara laporan itu, Andi Ghalib terpental dari jabatannya. Andi, yang merasa difitnah, kemudian melaporkan Teten dan Bambang Widjojanto—kini Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi—ke polisi. Teten tak gentar. Baginya, serangan balik orang-orang yang ia bongkar aibnya adalah risiko perjuangan.

Setelah langkah awal itu, ICW makin berkibar. Sejumlah kasus berhasil dibongkar, berkat laporan masyarakat atau penelusuran ICW sendiri. Laju ICW ini, tentu, bukan tanpa halangan atau usaha-usaha untuk mengerem pergerakannya. Setelah suatu perkara dibeberkan, misalnya, tak jarang Teten dan aktivis ICW menerima teror. Lain waktu, mereka pun diiming-imingi harta oleh pejabat atau pengusaha yang tak mau boroknya dibuka.

Teten rupanya tak mau selamanya di ICW. Pada 2008, ia memilih hengkang dan mempercayakan organisasi di tangan anak-anak muda. Dia punya alasan khusus soal ini. Menurut dia, aktivis lembaga nonpemerintah kerap mengkritik oligarki, sedangkan mereka sendiri enggan lengser dari kursinya. Pendiri seolah-olah memiliki organisasi.

Lepas dari ICW, Teten lalu bergabung dengan lembaga yang mendorong keterbukaan pemerintah, Transparency International Indonesia. Ia menjadi sekretaris jenderalnya. Di sini, ia tetap menggelorakan perjuangan melawan korupsi.

 

Melawan Korupsi: Pekerjaan Tanpa Akhir

Saya baru betul-betul menyadari bagaimana korupsi itu menyengsarakan kehidupan masyarakat ketika aktif dalam jaringan advokasi buruh pada pertengahan tahun 1980-an. Saat itu industrialisasi orientasi ekspor dijadikan prioritas pembangunan ekonomi yang mengandalkan keunggulan buruh murah dan patuh. Sepulang mengajar di sebuah sekolah menengah atas negeri di Tangerang, saya selalu melewati kamar-kamar petak sewaan memanjang sepeti barak tentara yang sangat kumuh dan sempit.

Di kemudian hari saya tahu para penghuninya adalah para buruh pabrik industri manufaktur, yang setiap petaknya kira-kira bisa dihuni 3-6 orang untuk ukuran 3 x 3 meter persegi. Hampir tidak masuk akal untuk ruang sesempit itu kan? Tapi rupanya mereka bergiliran menghuni rumah petak itu sesuai dengan pembagian shift kerja setiap delapan jam kerja.

Pikiran saya berkecamuk hebat, hampir tidak percaya dengan kondisi kehidupan para buruh yang katanya berada di sektor utama pembangunan ekonomi nasional? Bagaimana dengan nasib rakyat yang bekerja di sektor-sektor yang tidak diunggulkan?

Kemudian saya menggabungkan diri dengan teman-teman yang sudah lebih dahulu bergiat dalam pemberdayaan buruh. Saya dengan sejumlah teman aktivis LSM di Jakarta mendirikan Forum Solidaritas Buruh (Forsol) dan menjadi koordinatornya untuk mengadvokasi kebebasan berorganisasi, perbaikan upah dan menentang campur tangan militer dalam konflik buruh dan perusahaan. Perhatian dan pikiran saya tersita untuk urusan ini, sehingga saya akhirnya mengundurkan diri dari PNS golongan 3B.

Hasil riset teman saya seorang mahasiswa di Murdoch University, Australia, menjadi penjelas dari jawaban yang saya cari. Saat itu upah buruh manufaktur rata-rata 4-11 %, sementara biaya siluman bisa sampai 30% dari ongkos produksi. Ini artinya biaya korupsi menekan kesejahteraan buruh. Kenapa buruh yang dikorbankan oleh perusahaan, sekalipun mereka harus direpotkan oleh demo-demo buruh yang menuntut kesejahteraan? Jawabannya sederhana karena buruh paling lemah, sementara biaya untuk aparat pemerintah, tentara, polisi tidak bisa diabaikan karena mereka punya kekuasaan yang bisa mempersulit urusan bisnis.

Sejak itu saya berikrar suatu saat akan memberi perhatian serius mengenai masalah korupsi ini. Adalah krisis ekonomi pada tahun 1997 yang semakin meneguhkan saya untuk mendirikan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 1998. Tanpa ada referensi mengenai gerakan sosial antikorupsi sebelumnya, sedikit demi sedikit kita menjadi paham dan belajar terus mengembangkan metode dan pendekatan melawan korupsi yang efektif.

Di kemudian hari, gerakan yang didorong oleh ICW ditiru di berbagai daerah walaupun sebagian dari mereka tidak berumur panjang. Keberanian masyarakat untuk melawan ketidakadilan sudah mulai melangkah maju, sesuatu tahapan penting bagi gerakan masyarakat yang lebih kuat di masa depan

Korupsi di Indonesia sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat sendiri hampir menerima keadaan ini sebagai sesuatu yang lumrah, yang sesungguhnya mencerminkan keadaan ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi penguasa yang korup. Keadaan inilah yang harus kita ubah. Tidak mungkin mengharapkan penguasa untuk mengubah dirinya, karena korupsi memberikan keuntungan bagi mereka, meskipun dalam jangka panjang, seperti krisis ekonomi tahun 1997 itu, akan meruntuhkan pemerintahan itu sendiri.

Yang menerima dampak langsung dari korupsi adalah masyarakat. Kita harus membayar mahal pelayanan publik yang buruk, entah itu masalah pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Sudah banyak penelitian bahwa korupsi penyebab kemiskinan, dan menghambat kemajuan. Bisa dibayangkan kemajuan bangsa Indonesia yang bisa diraih bila sumber daya alam yang melimpah bila digunakan untuk kemakmuran masyarakat, bukan untuk dinikmati oleh segelintir orang.

Maka sekali lagi, masyarakatlah yang harus mengambil inisiatif untuk memerangi korupsi. Birokrasi kita harus dibikin sederhana, efisien dan melayani masyarakat. Hukum harus dijalankan secara jujur dan adil. Pembangunan ekonomi harus diarahkan untuk kesejahteraan umum. Dan pemerintahan harus dikelola oleh kehidupan politik yang demokratis dan bekerja untuk memajukan kehidupan masyarakat banyak.

Saya sering menyaksikan, di banyak negara, korupsi bukan disebabkan semata-mata karena kegagalan pemerintahan seperti birokrasi yang bokbrok, hukum yang tumpul dan politik yang kotor. Tapi korupsi juga tumbuh subur di tengah masyarakat yang tidak berdaya. Ketidakseimbangan hubungan antara masyarakat, bisnis dan pemerintahan selalu melahirkan keadaan korupsi yang parah. Sampai di sini betapa pentingnya masyarakat membangun kekuatan dan kecerdasan untuk bisa mengontrol pemerintahan dan jangan sampai pemerintahan didikte oleh kepentingan bisnis.

Pengalaman saya selama 14 tahun melawan korupsi bersama teman-teman yang lain, meskipun keadaan korupsi masih parah tapi tidak sedikit kemajuan yang diraih. Sekarang dengan munculnya keberanian masyarakat dan media yang bebas dengan mudah korupsi dibongkar kasus per kasus, sayangnya hukum tidak bekerja dengan baik. Kita dalam melawan korupsi harus terus melanjutkan penguatan demokrasi, suatu pekerjaan yang sulit diukur keberhasilanya tapi yang jelas adalah pekerjaan tanpa akhir.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Teten Masduki, Hal: 72-73.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “ICW Seolah Nama Tengahnya”

Leave a Reply