Harapan Baru untuk Jakarta

Jul 19, 2014 No Comments by

Ketika masih menjadi pengusaha, Joko Widodo menghabiskan waktu delapan bulan hanya untuk mengurus izin usaha. Saat duduk sebagai Walikota Solo, dia memanggil programer komputer untuk memecahkan masalah ini. “Hasilnya, hanya butuh enam hari,” katanya. Pelayanan pembuatan KTP dipangkasnya dari tiga pekan menjadi hanya satu jam.

Tujuh tahun memimpin Solo, pria yang akrab disapa Jokowi ini membawa banyak perubahan. Berkaca pada kota kota Eropa yang ia kunjungi, Jokowi membangun Solo dengan cinta dan sikap manusiawi. Ia merelokasi pedagang kaki lima nyaris tanpa gejolak, apalagi kekerasan.

Pemimpin Satpol PP dia ganti dengan seorang perempuan. Selama kepemimpinannya, ada 15 permohonan izin pembangunan mal, tapi hanya satu yang lolos. “Saya pro yang kecil kecil saja,” katanya. Selama enam tahun, ia membangun 17 pasar tradisional. Retribusi yang masuk dari pasar ini juga naik, dari Rp 7 miliar jadi Rp 19,2 miliar.

Jokowi paham betul rasanya jadi orang susah. Dulu dia tinggal di bantaran sungai. Ayahnya, Noto Mihardjo, penjual kayu di pinggir jalan. Ia juga sering ke pasar tradisional dan melihat bagaimana pedagang dikejar aparatur, diusir tanpa rasa kemanusiaan. Ia prihatin, kenapa kota tak ramah pada manusia

Maka, setelah memimpin kota, dia lebih banyak blusukan, turun ke lapangan, daripada ngendon di kantor. “Masalah itu ada di lapangan, urusan kantor biar diselesaikan birokrasi,” ujarnya. Setiap Jumat pagi dia ngider projo, mengayuh sepeda keliling kota menyerap aspirasi warga. Jika ada unjuk rasa,ia mengajak demonstran masuk ke Balaikota, diajak makan dan ngobrol. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, tak ada lagi unjuk rasa.

Setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, lewat pemilihan kepala daerah 2012, ia terkesan akan menerapkan strategi yang sama. Ia menjanjikan Jakarta yang memiliki harapan baru.

 

Para Pemimpin Masa Depan

Menjadi Indonesia adalah sebuah proses. Demikian halnya saya dalam memimpin ibukota Jakarta saat ini. Sebuah proses demokrasi yang menarik dan berbeda dari daerah lain. Mulai dari pemilihan umumnya hingga kini saya menjalani proses mendengar dan menangkap apa yang diinginkan akar rumput.

Bagi saya, memimpin adalah juga mendengarkan. Maka turunlah ke lapangan, dengarkan masyarakat berkeluh kesah, apa masalah mereka, apa yang mereka mau dan bagaimana mereka menyelesaikan masalah.

Itulah mengapa saya harus ‘blusukan’ ke kampung-kampung sempit. Karena dengan ‘blusukan’, saya mendapat banyak aspirasi, saran bahkan kritik dari mereka. Sering masalahnya terlihat sederhana, tapi menjadi kompleks karena sudah lama dibiarkan dan tidak ada terobosan komunikasi.

Turun ke lapangan juga bukan sekadar blusukan ke kampung kumuh. Tapi saya juga sekaligus mengawasi, apakah proyek dan program kerja kami berjalan sesuai sasaran. Ini adalah sebuah bentuk manajemen menyelesaikan masalah. Dengan perencanaan yang baik tanpa pengawasan ke bawah juga tidak bisa terwujud.

Itulah mengapa proses ini menjadi penting. Demi memperkaya wawasan pemimpin kota, hal itu tidak akan didapat jika saya terlalu banyak duduk di belakang meja. Saya berusaha mendengar, berbicara dan bekerja untuk rakyat.

Para pemimpin masa depan,

Seringkali kita tidak mengenal siapa calon pemimpin kita. Sebaliknya masyarakat merasa penderitaan dan kebutuhan mereka sudah lama tidak didengar oleh para pemimpin. Bagi saya, berdialog dengan masyarakat bisa adalah proses dalam berdemokrasi memilih pemimpin.

Masyarakat sudah bosan dengan iming-iming, termasuk politik uang. Bagaimana pun, masyarakat kita sudah pintar. Bagi saya, mengumpulkan puluhan hingga ribuan warda di lapangan menjadi tidak efektif. Menggelar pertunjukan hiburan, penuh hingar-bingar dengan musik dangdut, misalnya. Jangan-jangan, ketika orang datang ke kampanye yang didengar adalah musik dangdutnya. Atau yang ditonton adalah artisnya. bukan anda calon pemimpin sebenarnya.

Karena itu para pemimpin masa depan: Turunlah ke masyarakat ! Mengenal dan dikenal adalah sebuah proses belajar bersama-sama. Lakukanlah pendekatan yang benar, tulus, jujur dan bersih. Persepsi dan citra personal kita sebagai pemimpin dibangun sejak dari saat proses pemilihan.

Bagi saya, politik adalah sebuah cara. Ia akan menjadi baik kalau dijalankan dengan sebuah idealisme. Ia akan menjadi berguna bagi rakyat jika dilakukan dengan ‘nawaitu’ sebagai sebuah pengabdian bagi rakyat dan bangsa.

Politik akan menjadi malapetaka, jika dilakukan untuk kepentingan sempit dan pribadi. Jika sudah begitu, politik akan menjadi kotor.

Berpolitik sehat, berpolitik dengan nurani memang bukan proses mudah. Tapi bukankah proses menghadapi kesulitan dan terus belajar dari pengalaman menghadapi rintangan itulah yang akan memberikan nilai bagi kita untuk memenangkan sebuah pertarungan. Memberikan nilai bagi kita, nilai proses demokrasi yang sesungguhnya.

Saya berharap, ini menjadi pelajaran kita bersama. Terutama kalian anak-anak muda, calon pemimpin masa depan. Masih banyak dari kita yang terlena, dimanjakan kondisi lingkungan. Semangat bertarung dalam kehidupan berkurang.

Saya berharap, anak-anak muda Indonesia punya keberanian menghadapi kehidupan. Keberanian untuk memulai dan membangun sesuatu, berani keluar dari mainstream dan bekerja untuk Indonesia.

Menjadi Indonesia tidaklah sulit. Mari mulai dengan sederhana. Menyadari, diri kita adalah Indonesia. Berbahasa Indonesia yang baik, tak usah bahasa asing yang dicampur-campur. Mulai dari berpakaian, konsumsi apapun, mengunakan produk buatan Indonesia, buatan warga sendiri.

Ini hanya satu, dari sekian hal sederhana yang bisa dilakukan untuk menjadi Indonesia. Jangan pernah lupa akan dimana kita lahir, besar dan bagaimana kita dibesarkan. Kita orang Indonesia. Dan menjadi orang Indonesia adalah bagaimana kita mencintai dan menjaga akar budaya sendiri.

Jangan menyerah. Mari bekerja keras, belajar mandiri, membuat sejarah dengan menjadi pahlawan – minimal menjadi pahlawan untuk diri sendiri -. Dari situ, kita akan bisa menjadi inspirasi kemajuan lingkungannya, juga negaranya.

Saatnya bangun, bergerak membangun identitas Indonesia, berproses ‘Menjadi Indonesia’. Mari kita songsong bersama !

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Joko Widodo, Hal: 160-162.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Harapan Baru untuk Jakarta”

Leave a Reply