Fasilitasi Semiloka Penguatan Peran Serta Masyarakat dalam Konservasi Sumber Daya Hutan, USAID-IFACS, Jakarta, 13-14 Mei 2014

Mei 21, 2014 2 Comments by

Hutan purba dunia sangat beragam, meliputi hutan boreal-jenis hutan pinus yang ada di Amerika Utara, hutan hujan tropis, hutan sub tropis dan hutan magrove. Bersama, mereka menjaga sistem lingkungan yang penting bagi kehidupan di bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan penguapan air dari tanah. Hutan Purba juga membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar yang jika tidak tersimpan akan berkontribusi pada perubahan iklim.

Di seluruh dunia, hutan alami sedang dalam krisis. Tumbuhan dan binatang yang hidup didalamnya terancam punah, banyak manusia dan kebudayaan yang menggantungkan hidupnya dari hutan juga sedang terancam. Indonesia sendiri memiliki sejumlah hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati yang paling berharga di dunia. Akan tetapi, Indonesia juga memiliki emisi gas rumah kaca yang tinggi akibat deforestasi.

Proyek USAID IFACS (Indonesia Forest And Climate Support) adalah proyek yang dirancang untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca melalui dua tujuan utama, yakni peningkatan tata kelola hutan (forest governance) dan peningkatan pengelolaan hutan dan sumber daya alam (forest management). IFACS bekerja dengan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, melaksanakan atau mendukung kegiatan pelestarian hutan serta keanekaragaman hayati dan ekosistem, juga merencanakan strategi pembangunan rendah emisi untuk lahan yang telah terdegradasi. Mereka mengusung program utama Community Concervation and Livelihood Agreement (CCLA), yaitu sebuah desain program yang mendorong kesepakatan konservasi alam dengan masyarakat.

Untuk berbagi pengalaman, USAID IFACS mengadakan sebuah Seminar dan Lokakarya. Gedung Manggala Wanabakti dipilih sebagai tempat semiloka tersebut yang dilaksanakan pada tanggal 13- 14 Mei 2014, dengan tema Penguatan Peran Serta Masyarakat dalam Konservasi Sumber Daya Hutan. Kementerian Kehutanan dan lembaga lain dalam pelaksanaan CCLA hadir dalam semiloka tersebut.

Semiloka ini difasilitasi oleh Eko Komara dan David Ardhian, serta diikuti oleh perwakilan dari masyarakat dan stakeholder terkait dari Landscape, sebutan untuk wilayah sasaran program IFACS.

Sekjen Kementrian Kehutanan RI, Bapak Hadi Daryanto,dalam sambutan pembukaannya menyampaikan tiga hal yang menjadi kunci rangkaian kegiatan semiloka, yakni; telling the case, get the principle dan recommendation for the policy. Ketiga hal tersebut merupakan gambaran pembagian peran tiga pilar pembangunan yang jelas. Kasus-kasus yang muncul di masyarakat di dorongkan pada pemerintah untuk menjadi sebuah kebijakan yang konkret. Sedangkan di lain pihak, masyarakat mendorong diri mereka untuk mengorganisasi kelompok mereka sendiri berdasarkan kebutuhan mereka. Melakukan kegiatan padat karya dengan dukungan dari pihak lain, baik donor ataupun sektor swasta, sehingga terjalin hubungan yang harmonis ketiga pihak, masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah.

Kegiatan pada hari pertama terbagi menjadi tiga sesi paparan materi dari para narasumber yang berbagi pengalaman menarik tentang kebijakan konservasi berbasis masyarakat serta pelaksanaan Program CCLA dari landscape sasaran. Eko Komara, menjadi fasilitator yang mengawal sesi pertama. Sedangkan sesi kedua dan ketiga, dikawal oleh David Ardhian.

Di akhir hari pertama, Mas David, sapaan akrabnya, mencatat beberapa hal-hal menarik dari paparan para pemateri, yakni; Kebijakan makro yang mendukung pelibatan masyarakat telah banyak dikembangkan. Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan membuka ruang pemberdayaan masyarakat pada daerah penyangga kawasan konservasi. Dan lahirnya UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan peluang sekaligus tantangan bagi upaya pelibatan masyarakat dalam konservasi hutan dan sumberdaya alam. Hal ini yang mendorong dikembangkannya peran serta masyarakat dalam konservasi hutan oleh Pemerintah, CSO dan kelompok-kelompok masyarakat.

Belajar dari pengalaman masyarakan dalam mengembangkan CCLA didapatkan pelajaran bahwa motivasi masyarakat dalam mengembangkan CCLA adalah berdasarkan; pengalaman situasi kerusakan hutan dan sumberdaya alam yang mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan kekeringan, basis budaya masyarakat dan pengetahuan lokal masyarakat atas hutan dan sumberdaya alam, manfaat langsung hutan dan sumberdaya alam bagi penghidupan masyarakat.

CCLA dimaknai masyarakat sebagai instrumen untuk perencanaan–mengatur zonasi kawasan kelola masyarakat, perencanaan kegiatan dan seterusnya, sebagai alat negosiasi dan advokasi dengan pihak-pihak terkait seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat dan swasta, alat konsolidasi untuk memperkokoh modal sosial dan mengukuhkan aturan-aturan lokal, serta alat monitoring dan evaluasi, sebagai acuan dalam memantau kegiatan masyarakat dalam konservasi, dengan produk berupa peta dan kesepakatan.

Penerapan CCLA dilapangan menghadapi banyak tantangan. Tantangan terutama adalah makin cepatnya derap pembangunan ekonomi yang berbasis eksploitasi SDA dan hutan seperti ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang dan sebagainya.

Kebersamaan para pihak antara Kemenhut, Depdagri, Lembaga Donor dan Masyarakat menjadi sebuah langkah penting untuk terus berlanjut dalam rangka mendukung keberlanjutan CCLA dalam aspek dukungan kebijakan dan program, memanfaatkan peluang dengan adanya UU Desa serta mengembangkan dukungan pendanaan bagi upaya mendorong peran serta masyarakat dalam konservasi hutan dan sumberdaya alam.

Sesi di hari kedua merupakan sesi yang paling menarik, peserta mendapatkan kesempatan untuk saling berbagi pengalaman. Dibagi dalam tiga kelompok besar berdasarkan landscape Sumetera, Kalimantan, dan Papua. Bermodalkan tiga pertanyaan kunci dari fasilitator tentang; pendekatan dan metode CCLA, isu kebijakan dan kelembagaan, serta isu komunikasi dan pengelolaan pengetahuan. Selepas coffee break, di Ruang Rimbawan II, para wakil dari kelompok memaparkan hasil diskusi di kelompoknya.

Di akhir hari, kembali Mas David menjahitnya dalam catatan sebagai berikut; berdasarkan pembelajaran yang dipetik pada hari pertama maka kata kunci dari pengembangan CCLA kedepan adalah keberlanjutan. Secara umum agenda keberlanjutan CCLA kedepan adalah mendorong CCLA sebagai sarana untuk memperkuat kearifan lokal dalam konservasi , mengembangkan lebih lanjut CCLA untuk menjadi sebuah aturan formal dalam peraturan desa (Perdes) dan terintegrasi dalam kebijakan tata ruang kabupaten, mensinergikan dengan perkembangan isu kebijakan terkini seperti optimalisasi peran desa terkait UU Desa, mendorong untuk menjadi bagian program konservasi Kemenhut, dan sebagainya

Untuk itu maka strategi yang dikembangkan adalah mendorong kelembagaan masyarakat untuk berperan aktif dalam, memperkuat pendekatan dan metode CCLA untuk lebih efektif dalam penerapan di lapangan, mendorong sinergi dengan kebijakan desa dan daerah teurtama optimalisasi peran dan kelembagaan lokal pada tingkat desa dan kabupaten, mengembangkan komunikasi dengan pihak-pihak terkait baik internal maupun eksternal. Internal terkait dengan sosialisasi CCLA kepada masyarakat dengan cara yang efektif dan bahasa yang mudah dipahami. Eksternal terkait dengan diskusi para pihak melalui forum-forum multi-stakeholder, ekspose ke media massa dan penyebarluasan CCLA kepada masyarakat luas.

Faktor lain yang penting adalah keragaman dan perbedaan konteks lanskap baik sumberdaya alam, budaya dan kelembagaan lokal memberikan pesan bahwa CCLA harus diletakkan dalam konteks lokal. Proses-proses penguatan CCLA pada tingkat lokal dan keterkaitan dengan berbagai kebijakan dan program pada tingkat nasional adalah faktor penting bagi keberlanjutan CCLA kedepan. Seiring dengan berbagai peluang dan tantangan seperti UU Desa, arah kebijakan konservasi seperti REDD+, pengembangan kawasan penyangga konservasi dan lain-lain maka CCLA harus terus dikawal dan masih memerlukan proses pendampingan dalam format untuk mendorong keberlanjutan.

Semiloka ini ditutup oleh Bapak Bambang Supriyanto, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (PJLK2HL). Dalam pesan penutupnya, Bapak Bambang menyampaikan, sejatinya konsep zonasi hutan sudah ada dalam kearifan masyarakat lokal Indonesia, misalnya budaya Sunda, konsep zonasi ini diterapkan dengan istilah Leuweng Titipan yang sama artinya dengan zona inti, Leuweng Tutupan yang mengandung pengertian yang sama dengan zona rimba dan Leuweng Garapan, yang artinya sama dengan zona pemanfaatan. Ini mengingatkan kita kembali, bahwa keberadaan hutan dan pemanfaatannya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, dan konservasi hutan adalah tanggung jawab dan harga diri bangsa. (TY)

Kabar, Liputan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet

2 Responses to “Fasilitasi Semiloka Penguatan Peran Serta Masyarakat dalam Konservasi Sumber Daya Hutan, USAID-IFACS, Jakarta, 13-14 Mei 2014”

  1. tumpal sirait says:

    Salam kenal mas Endra, saya sangat tertarik dengan ulasan diatas. Jika bersedia memberikan saran atau informasi saya sangat berterimakasih. Di daerah kami hutan kemenyan sejak ratusan tahun yang lalu mnjadi sumber penghidupan yg diwariskan turun temurun, sayangnya sejak thn 80 an produksi kemenyan mengalami penurunan yg luar biasa termasuk luas area. Sekrng msyrkt tidk begitu tertarik lagi mengelola hutan kemenyan.dan memilih untuk merambah hutan dan mengusahai tanaman lain termasuk tanaman muda. Setahu saya kemenyan endemik tapanuli serta mempunyai keunikan tersendiri yaitu harus hidup bersama dgn tanamn hutan lainnya baru dapat berproduksi.. terus terang ada kekuatiran ke depan hutan kemenyan akan tinggal nama. Konsep pengelolaan hutan kemenyan berbasis msyarakt sungguh tepat diterapkan. Jujur kalo mengharapkn pemerinth saya pesimis….mohon pencerahan mas Endra. Salam……Tumpal Sirait 081362407078

    • Endra says:

      terima kasih atas informasi yang terupdate sodara tumpal sirait
      untuk memperluar informasi ini bisa langsung ke mba tino

      sala,

Leave a Reply