Di Antara Eropa dan Tanah Air

Agu 24, 2013 No Comments by

Ananda Sukarlan memang menetap di Spanyol, namun hatinya tak pernah jauh dari Indonesia. Pianis kelahiran Jakarta ini sering memberi resital piano tunggal di gedung-gedung konser paling bergengsi di Eropa seperti Concertgebouw Amsterdam, Philharmonie Berlin, Auditorio Nacional (Madrid), Rachmaninoff Hall (Moskow), dan Queen’s Hall (Edinburg). Di mana pun ia tampil, musikus 44 tahun ini selalu diberi atribusi A Brilliant Young Indonesian Pianist.

Dari benua Eropa, Ananda berhasil mengharumkan nama bangsa. Dialah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang dipilih untuk dicatat dalam 2000 Outstanding Musicians Of the 20th Century, buku prestisius yang diterbitkan The International Biographical Center of Cambridge, Inggris, dan The International Who’s Who in Music. Namanya juga tercantum dalam Guinness Book of Records atas keberhasilannya menampilkan 38 karya baru dalam Festival Musik Modern di Alicante- Spanyol pada September 1995.

Ananda merupakan musisi Indonesia pertama yang membuka kembali hubungan kebudayaan Indonesia-Portugal. Ratu Sofia dari Spanyol bahkan mengundangnya tampil di acara malam gala Queen Sofia Prize di Madrid, akhir 2000. Sedikitnya ada 70 komposisi yang ditulis khusus untuk Ananda oleh komponis-komponis dunia.

Berkibar di negeri orang, Ananda tetap ingat kampung halaman. Secara rutin dia pulang, menggelar konser. Misalnya resital piano untuk Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 2000, lalu resital piano klasik di Taman Ismail Marzuki empat tahun berikutnya. Pada 2010, Ananda berkolaborasi dengan koreografer dan penari Chendra Panatan di Gedung Kesenian Jakarta untuk merayakan ulang tahun Ibu Kota. Jejak bermusik Ananda bukan saja bukti kecintaannya pada seni, melainkan juga pada Indonesia.

 

Dari Ananda untuk Ananda-Ananda Tercinta, Para Pemimpin Masa Depan Negara RI

Terima kasih telah meminjamkan negara ini kepada kami, generasi di atas anda. Dalam waktu singkat kami akan kembalikan negara ini kepada kalian, pemilik sahnya. Walaupun hanya pinjaman, saya merasa sangat bahagia dapat memilikinya sesaat, mencintainya sampai mati, dan selalu bangga menjadi warga negaranya, apapun reputasinya di dunia internasional saat ini. Negara kita memiliki sumber daya seni dan budaya yang terkaya di dunia, dan kami generasi sebelum anda belum bisa menggunakan sepantasnya, bahkan masih banyak yang berpikir bahwa segala yang “Barat” itu lebih keren dan berkualitas, jadi tugas andalah untuk menggunakannya demi kemakmuran dan kedamaian seluruh rakyat. Jangan mengulang kesalahan kami, sadarlah dan wujudkanlah dengan berkata “Saya orang Indonesia,” di negara manapun orang akan menghormati anda.

Tapi bagaimana caranya “Menjadi Indonesia”? Saya sendiri tidak tahu. Yang jelas, dalam seni, saya selalu berusaha menunjukkan identitas Indonesia dalam musik sastra (istilah yang saya ingin tawarkan untuk menggantikan “musik klasik”), dan saya berharap usaha tersebut dapat diteruskan oleh para pemimpin kita berikutnya, bukan hanya dalam musik tapi di bidang seni lainnya.

Sejak saya menginjakkan kaki di negeri orang pada usia 18 tahun, saya tahu bahwa saya hanya bisa berhasil sebagai saya sendiri dan sebagai orang Indonesia, bukan sebagai seorang komponis peniru musik Bach atau Wagner. Sebagai pianis, sudah (terlalu) banyak juga pianis yang sangat kuat memainkan musik Chopin dan Tschaikovsky; Eropa dan dunia tidak terlalu membutuhkan seorang anak Jakarta yang mencoba memahami musik yang bukan tradisinya, dan mencoba memainkannya lebih baik dari para kolega Eropa saya.

Musik mereka memang saya serap, tapi tidak saya reproduksi mentah-mentah. Hanya 1 kekuatan lebih yang saya miliki: keindonesiaan saya. Musik yang merupakan ekspresi dan komunikasi universal yang melampaui kata-kata, harus bisa memperkuat identitas kita. Karena sudah melampaui kata-kata, musik tidak bisa berbohong; itulah bentuk ekspresi yang paling jujur dan dalam.

Saya memiliki nilai yang sangat berharga: pengalaman hidup, budaya, dan tradisi bangsa saya selama 17 tahun pertama di Indonesia yang berasimilasi dengan musik sastra Eropah yang saya geluti sesudahnya. Tidak ada orang di negara manapun yang memiliki nilai ini di dalam dirinya. Apa itu berarti saya lebih baik daripada mereka? Tidak, dan saya tidak berusaha untuk lebih baik dari siapa pun. Saya hanya selalu berusaha untuk lebih baik dari apa yang saya pikir saya sendiri bisa capai. Menjadi saya adalah menjadi yang lebih baik dari saya. Dan akhirnya menjadi Indonesia juga demikian.

Kalau Austria bisa membuat kota kelahiran Mozart yang sangat kecil, Salzburg, menjadi objek wisata dunia, kenapa kita tidak? Kalau Jerman bisa mengangkat Simfoni kesembilannya Beethoven menjadi lambang persaudaraan dan perdamaian sedunia, kenapa kita tidak? Dan, kalau Italia bisa menjadikan Monalisa-nya Leonardo da Vinci menjadi lambang keindahan enigmatik sedunia, kenapa kita tidak?

Bukan tanggung jawab Mozart, Beethoven, dan da Vinci bahwa ketiga contoh itu bisa terjadi. Mereka, seperti seniman-seniman lainnya, hanya “mengerjakan tugasnya”. Tapi, “to have great poets, there must be great audiences too”, kata penyair Amerika Walt Whitman. Amerika telah menjadi great audience untuk Whitman, kini giliran para seniman besar Indonesia yang telah menghasilkan banyak mahakarya untuk memiliki a great audience. Ini hanya bisa dimulai di negaranya sendiri, karena negara yang besar adalah negara yang bisa menjadi a great audience untuk mencintai dan bangga atas para senimannya.

Hanya satu pesan saya kepada anda, pemimpin masa depan negeri ini. Pimpinlah dengan kerendahan hati, karena kepemimpinan adalah amanat dan kepercayaan rakyat terhadap anda. Sekecil apapun yang kita dapatkan, baik sejak lahir maupun yang kita dapatkan dari jerih payah adalah dari Tuhan melalui umatNya, dan semua itu tidak ada yang kekal. Mungkin saya tidak lagi perlu memohon supaya anda tidak korupsi, karena semua yang bisa dikorupsi akan habis oleh generasi saya ini, tapi tetaplah ingat bahwa kita semua sudah diberi jatahnya oleh Tuhan, dan jatah itu sangat cukup untuk dibagi.

Sebagai contoh, kontribusi Yayasan Musik Sastra Indonesia yang saya ikut dirikan memang masih kecil, tapi kebahagiaan anak-anak kurang mampu setelah berhasil memainkan instrumen itu adalah suatu hal yang tidak ternilai dalam menaikkan harga dirinya dan membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik, bukan saja dalam musik, tapi dalam moral. Kalau anak-anak itu, calon-calon pemimpin itu di kemudian hari membalas budi kami dengan cara meneruskannya, membagi dan memberi ke mereka yang kurang mampu juga, saya yakin itu akan menjadi Indonesia yang semakin baik. Menjadi Indonesia yang kita impikan. Menjadi Indonesia.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Ananda Sukarlan, Hal: 4-6.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Di Antara Eropa dan Tanah Air”

Leave a Reply