Demi Keutuhan Tim

Nov 09, 2013 No Comments by

Sepakbola bukanlah politik. Rahmad Darmawan mempercayai itu. Tak ada harapan jika sepakbola sudah direcoki politik. Apalagi jika olahraga justru terpecah bagai partai politik. Tamat sudah riwayat sebuah tim nasional.

“Kalau sudah seperti itu, tidak ada gunanya lagi menjadi pelatih timnas,” kata Rahmad ketika memutuskan mundur dari jabatannya sebagai pelatih timnas U-23 akhir 2011. Ia jelas kecewa. Sejak Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia terpecah menjadi dua kubu kepengurusan, pembentukan tim nasional tak pernah solid. Pelatih tak lagi leluasa memilih pemain.

Di tangan Coach RD, begitu ia biasa disapa, prestasi tim nasional sebenarnya tengah menanjak. Ia menjadi pelatih yang dicintai pemain dan publik. Bahkan ketika timnas gagal menjuarai Pesta Olah Raga se-Asia Tenggara, SEA Games 2011, ia tetap dipuji.

Ricky Yakobi, penyerang tim nasional era 1980-an, mengatakan RD cuma butuh tiga bulan untuk meramu 27 pemain muda menampilkan permainan menyerang dan enak ditonton. Rully Nere, gelandang legendaris asal Papua, mengatakan RD pantas menangani tim Garuda senior.

Tak seperti pelatih idolanya, Jose Mourinho yang meledak-ledak, RD tergolong kalem. Titus Bonai, penyerang Timnas U-23 di SEA Games 2011, mengatakan pelatih tak pernah memarahi anak-anak asuhnya, bahkan saat mereka keok.

Anggota Marinir berpangkat kapten ini memang pantang menerapkan aturan yang baku. Pelatih yang membawa Sriwijaya FC menjuarai Liga Indonesia 2008 ini menyamakan pemain sepak bola dengan seniman. “Terlalu banyak aturan membuat karyanya terbatas,” ujarnya.

Pelatih yang mengandalkan umpan pendek dan cepat itu menekankan pentingnya menekan ego di tim. Menurutnya, pelatih jangan sampai merasa jadi bagian paling penting, begitu juga pemain. Komunikasi yang baik akan membangun simbiosis mutualisme dalam tim.

 

Surat untuk Pemimpin Indonesia

Cita-cita terbesar buat seorang atlet adalah keinginan bisa bertanding/berkompetisi mewakili bangsa dan negaranya. Ada kebanggaan, ada tanggung jawab besar yang diembankan di pundak kita saat kesempatan itu datang. Saya pernah merasakannya saat saya menjadi atlet sepak bola di beberapa event internasional seperti Sea Games, Piala Asia, dan pra-Piala Dunia. Saya juga masih sangat ingat bagaimana saya selalu gagal menahan tetesan air mata saat menyanyikan lagu “Indonesia Raya” bersama tim di ruang ganti sebelum turun ke lapangan. Kemudian kita berdoa bersama memohon keselamatan dan keberhasilan yang setiap kata demi kata dengan penuh permohonan dan harapan untuk bisa mengharumkan nama negara tercinta “Indonesia”.

Saat menjadi pelatih, saya tentu punya keinginan yang kuat untuk suatu saat bisa membawa tim nasional sepak bola bertanding mewakili Indonesia di ajang internasional.

Setelah menunggu sekian tahun, akhirnya kesempatan itu datang. Saya ditunjuk melatih tim nasional menuju Sea Games 2012. Di tengah gejolak kepengurusan PSSI yang ketika itu tidak memperbolehkan pemain dari luar kompetisi ISL diambil timnas saya membuat keputusan bahwa siapapun pemain terbaik yang ada di Indonesia punya hak dan kesempatan yang sama untuk memperkuat timnas tanpa membedakan mereka berasal dari kompetisi apapun, termasuk LPI yang ketika itu dianggap kompetisi ilegal.

Di tengah pusaran konflik dan waktu yang bersisa 3 bulan saya harus mempersiapkan tim ini. Program saya rancang sedemikian rupa untuk menyiasati minimnya waktu dan belum lagi banyak di antara pemain yang terpanggil belum punya pengalaman berlaga di event internasional. Belum lagi bahwa mereka tidak punya banyak kesempatan bermain bersama klubnya karena kalah Bersaing dengan pemain asing.

Dari hal tersebut maka saya membuat satu rencana program untuk timnas dengan banyak melakukan uji coba internasional, tepatnya dari 16 kali uji coba saya berharap 12 kali melawan tim dari negara lain dengan tujuan menambah jam terbang pemain dan menguji kualitas team untuk terus berada dalam jalur yang benar. Namun, karena kendala waktu dan dana, saya hanya bisa beruji coba dengan 4 tim dari luar negeri dan 12 lainnya dengan tim Lokal.

Kemudian saya mulai juga memberikan bekal kepada pemain tentang apa dan bagaimana sebuah teamwork itu harus dilatih dan dilakukan mulai dari hal terkecil, seperti makan bersama, memakai uniform yang ditentukan sesuai dengan kegiatan, tepat waktu dalam setiap kegiatan sehingga antar pemain bisa saling menghargai satu dengan yang lain. Kegiatan keagamaan dan sosialpun kita berikan dengan mengingatkan pemain beribadah, kemudian mengunjungi beberapa panti asuhan serta melaksanakan ibadah bersama-sama.

Berkomunikasi dengan pemain di luar kegiatan melatih dan berlatih juga saya lakukan dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi terhadap pemain. Setiap permasalahan yang terjadi, coba untuk kita diskusikan lalu carikan jalan keluar. Rewards dan punishment tentunya akan kita berikan kepada setiap pemain tanpa membedakannya.

Dalam pelaksanaan Sea Games, kami hanya meraih medali perak setelah gagal dalam partai final melawan Malaysia melalui adu penalti. Namun, selama event berlangsung, semua anggota tim telah melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab serta memberikan semua kemampuannya dengan maksimal. Namun, pengalaman memang tidak bisa dibeli, tapi harus diberikan dan diprogramkan serta diimplementasikan dengan nyata. Hal tersebut terlihat saat menjelang adu penalti dilaksanakan hanya Ada 3 pemain yang menyatakan siap.

Tapi, apapun hasilnya, saya bangga berada di antara para pemain yang semangat, loyal, serta berdedikasi tinggi untuk membela sang Merah Putih dengan segala keterbatasannya.

Selesai event Sea Games saya diminta untuk tetap menangani timnas berikutnya, namun kemudian saya menolak dengan 2 alasan: Pertama, saya merasa gagal mencapai target medali emas, Kedua, saya menolak karena adanya diskriminasi terhadap pemain dari kompetisi tertentu yang tidak diperbolehkan dipanggil ke timnas. Padahal dari awal saya dan pengurus sudah sepakat untuk memanggil pemain terbaik yang ada di Indonesia tanpa membedakan mereka dari klub atau dari mana mereka berasal.

Saya ingat pada sebuah kalimat yg saya baca saat saya masih di bangku Sekolah Dasar, bunyinya: “Yang sulit dalam hidup ini adalah menyatukan antara pikiran, ucapan, dan perbuatan”.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Drs. Rahmad Darmawan, Hal: 40-42.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Demi Keutuhan Tim”

Leave a Reply