Dari Es Lilin Jadi Pakar Nanoteknologi

Nov 02, 2013 No Comments by

Menjadi ilmuwan terkemuka mungkin tak pernah terbersit di benak Nurul Taufiqu Rochman kecil. Semasa duduk di sekolah dasar di Malang, Jawa Timur, dia disibukkan membungkus es lilin jualan ibunya. Saban hari, dia membawa es dan gorengan ke sekolah dan menjualnya di kantin.

Saking sibuknya berjualan, Nurul nyaris tak punya waktu untuk belajar. Padahal pekerjaan rumah menumpuk. Tapi dia tak tega menyerahkan semua urusan bungkus-membungkus es lilin itu pada sang ibu. Kedua orangtuanya juga harus berakrobat membagi waktu dengan pekerjaan mereka.

Alhasil, Nurul pun menciptakan metode belajarnya sendiri. Sambil membungkus es lilin dia membaca buku. Pekerjaan selesai, belajar pun tuntas. Kebiasaan ini terbawa sampai dewasa. Selepas SMA, dia mendapat beasiswa untuk belajar Teknik Mesin, di Kagoshima University, Jepang.

Di sana, metode belajar ala es lilinnya berguna. Kalau beban kuliahnya amat banyak, Nurul belajar di atas kereta, di tengah hiruk pikuk penumpang.

Determinasi seperti itulah yang membawa Nurul ke jenjang puncak ilmu nanoteknologi. Dia belajar dan terus mencipta. Waktu 15 tahun di Jepang lewat tanpa terasa. Pada 2004, dia pulang ke Indonesia dan menjadi peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Namanya lalu berkibar di tanah air. Dia menciptakan mesin penggiling nano partikel, yang bisa mencacah besi sampai bahan organik menjadi ukuran nano alias sepermiliar meter.

Nurul punya 12 paten untuk beragam ciptaan serba nano, ada nanokopi, nanoherbal, nanosabun, hingga nanosampo.

Tapi Nurul masih jauh dari selesai. Dia terus berkarya. Dari kantornya di Balai Inkubator Teknologi, Puspiptek, dia mendirikan PT Nanotech Indonesia. Dia bertekad mengimplementasikan nanoteknologi pada semua bidang industri yang strategis buat Indonesia.

 

Untukmu Pemimpin Muda, “Berkreasi dalam Era Kebangkitan”

Wahai Pemuda!

Pada awal abad ke-20, HOS Tjokro Aminoto, dr Soetomo, dan para tokoh pemuda lainnya telah membuat suatu kreasi baru dalam perjuangan melawan penjajah dengan jalan menghimpun berbagai potensi di masyarakat dalam struktur organisasi yang tertata. Kreasi ini benar-benar berbeda dengan bentuk-bentuk perjuangan selama itu, yang tidak mengedepankan perjuangan-perjuangan individu lagi, melainkan sebuah kelompok yang terkoordinasi dengan rapi, sebut saja organisasi Syarekat Dagang Islam dan Budi Utomo. Organisasi ini menjadi motor penggerak berbagai gerakan-gerakan perlawanan dengan melakukan pendekatan-pendekatan dialog membangun komunitas yang terintegrasi dan menjadi kekuatan yang dahsyat.

Kreasi ini telah menjadi titik tolak kebangkitan bangsa Indonesia dalam melakukan perlawanan dan mengubah cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama dalam perjuangan. Dengan bentuk perjuangan baru yang dimotori oleh para pemuda berdedikasi tinggi ini, berbagai potensi kekuatan rakyat dapat dimobilisasi dalam satu gerak langkah perjuangan mengusir penjajahan Belanda di atas bumi Indonesia.

Setelah berjalan dua dekade, kreasi ini menjadi bola salju yang menggelinding cepat dan membuahkan sebuah karya besar anak-anak bangsa yang menjadi titik tolak menuju kemerdekaan, yaitu terjadinya Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928. Sejak itu, gerakan perlawanan menjadi lebih terintegrasi secara nasional, di mana masing-masing gerakan menjadi penunjang gerakan yang lainnya yang kemudian melahirkan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945.

Kini, titik tolak kebangkitan itu sudah berjalan 100 tahun dan bangsa Indonesia kembali membutuhkan kreasi-kreasi baru putra-putri terbaik bangsa untuk kembali bangkit. Semangat menyatukan langkah “lidi-lidi tegak” (=putra-putri terbaik bangsa) yang berdedikasi tinggi yang sudah semakin banyak dan berserakan harus terus dikumandangkan. Hanya dengan jalan inilah bangsa Indonesia kembali bangun dan bangkit perekonomiannya dengan meng-insert kemampuan putra-putri terbaiknya ke dalam sistem pembangunan nasionalnya.

Oleh karenanya, fokus kreasi abad ini adalah gerakan kepakaran dan profesionalisme yang telah diusung oleh kaum muda dewasa ini yang sudah mulai matang sejak dikirim oleh Habibie pada tahun 1985 lalu melalui program OFP (Overseas Fellowship Program), STMDP (Sience and Technology, Manpower Development Program), dan STAID (Science and Technology for Industrial Development) untuk sekolah “mencuri” teknologi maju di luar negeri. Kini mereka telah menjadi pakar-pakar muda di berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Perlu dicatat di sini bahwa, sebagian besar para pakar tersebut membidangi nanoteknologi, teknologi abad ke-21 ini yang kita nantikan, dan telah bergabung dalam Masyarakat Nano Indonesia (MNI) sejak didirikan pada 28 Februari 2005 lalu. Kini lebih dari 300 doktor pakar nano telah siap membangun Indonesia!

Tugas terberat MNI yang juga merupakan sumbangsih terbesar dalam berkreasi di Tanah Air tercinta ini adalah menghimpun kekuatan baru para pakar nanoteknologi tersebut yang terorganisasi dengan rapih untuk berkontribusi nyata dalam meningkatkan daya saing bangsa dengan meng-insert nanoteknologi ke dalam industri nasional yang terintegrasi. Berbagai kendala yang dihadapi dengan minimnya kualitas SDM, fasilitas, dana, regulasi dan lain sebagainya telah menjadi tantangan baru untuk mengoptimalkan semua potensi yang teridentifikasi. Sosialisasi, edukasi, training, dan pemberdayaan seluruh pegiat nano, peneliti, industri, pelajar, dan masyarakat luas serta stakeholder pembuat kebijakan telah menjadi program rutinitas untuk mencapai visi menjadikan industri nasional berdaya saing global dengan nanoteknologi.

Mengingat nanoteknologi akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, maka isu nanoteknologi harus diangkat menjadi isu nasional yang lintas kementerian. Setidaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ristek, Perindustrian, Kehakiman, ESDM, Pertanian, Perdagangan, Keuangan, Lingkungan, dan Kesehatan harus duduk bersama berembug menerapkan dan mengawal nanoteknologi di Indonesia. Dengan dukungan yang maksimal dari semua elemen di atas, dapat dipastikan bahwa nanoteknologi dapat menggapai masa depan bangsa Indonesia. Jika Presiden Korea mengatakan, “Go nano or die!”, maka selayaknya, Presiden kita juga tidak ketinggalan terhadap negara lain dengan mengatakan, “Nanoteknologi, Indonesia pasti bisa!”.

Oleh karena itu, Wahai Pemuda! Aku gantungkan harapan bangsaku padamu. Berkreasilah menjadi dirimu yang terbaik! Dan berhimpunlah untuk membangkitkan kembali bangsa ini!

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Nurul Taufiqu Rochman, Hal: 37-39.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Dari Es Lilin Jadi Pakar Nanoteknologi”

Leave a Reply