Celeng Itu Masih Berkeliaran

Nov 01, 2014 No Comments by

Namanya seolah melekat dengan celeng―alias babi hutan. Bermula dari karya masterpiece-nya, Indonesia 1998 Berburu Celeng, yang terjual Rp 1 miliar. Lukisan ini merupakan bagian dari “trilogi celeng” yang meliputi Susu Raja Celeng (1996), Berburu Celeng, dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita, 2000.

Bagi Pekik, celeng merupakan simbol keserakahan dan angkara murka. “Celeng itu serakah, tak punya tatanan, perusak, dan matinya terhina,” katanya. Dia mulai melukis celeng pada 1996, ketika situasi politik Indonesia semakin sesak dan gerakan perubahan bergerak menuju reformasi.

Banyak orang memaknai karya-karya Pekik sebagai refleksi sikap politik. Padahal, “Saya tak paham politik, dan tak pernah berniat terjun dalam perjuangan politik,” katanya. Dengan warna-warnanya yang “polos” dan tarikan garisnya yang ”lurus”, Pekik menyatakan sekadar ingin bergulat dengan kehidupan sehari-hari rakyat, yang dianggapnya “sumber inspirasi”.

Dengan sikap demikian, tak ayal lukisan-lukisan Pekik sering dianggap mengusung kritik dan kepedulian social. Pada medio 2011, di Yogyakarta, Pekik bersama pelukis-pelukis Yogyakarta menggelar acara melukis massal dengan mengusung kampanye pentingnya berbagi dengan sesama.

Sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, Pekik mematangkan kemampuan melukisnya di Sanggar Bumi Tarung, yang dianggap berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Setelah peristiwa “Gerakan 30 Septembet”, 1965, Pekik menjadi bagian dari kaum yang dicurigai terlibat dalam gerakan itu, dan mendekam selama delapan tahun di penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Bebas dari penjara, lukisannya terpilih oleh kurator internasional untuk diikutsertakan pada pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, 1990-1991. Sejak itu Pekik kembali memberi warna pada dunia senirupa Indonesia.

 

Untuk Generasi Muda se-Tanah Air,

Kita sudah merdeka, tetapi kemerdekaan yang sudah diwariskan para pejuang kemerdekaan dulu, tidak akan berarti, kalau kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang positif dan berkarya.

Keberhasilan saya ini, karena saya punya semangat berjuang menghadapi hidup dengan terus berkarya sesuai hati nurani.

Saya pernah mengalami masa-masa yang sulit, sehingga tiarap di bawah kaki manusia, diinjak-injak, ditendang. Ditangkap rezim Soeharto, ditahan selama tujuh tahun (peristiwa 65). Tetapi zaman sedikit demi sedikit berubah.

Dengan semangat dan konsistensi saya sebagai perupa, saya bisa berkarya sangat bebas, mengisi kemerdekaan, dengan semangat Tri Sakti (pidato Bung Karno, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam seni dan budaya. Bahkan sekarang, saya dikenal banyak orang.

Contohnya, belum lama ini, suatu malam, mobil saya mogok. Ketika saya keluar, banyak orang membantu saya mendorong mobil itu ke tepi. Mereka menolong saya sampai mobil itu bisa jalan lagi. Ketika saya mau memberi uang, mereka menolak. Ternyata mereka mengenal saya, dan meminta foto bareng.

Saya terharu, mereka bukan seniman, tetapi mereka mengenal saya. Saya terus melukis meskipun hidup saya pada waktu itu sangat sulit. Suatu ketika, karya-karya saya dijadikan bahan penelitian, untuk desertasi doktor Astri Wright, dari Universitas Cornel Amerika. Itulah awal perubahan dari perjalanan hidup saya, karena tulisan itu dibaca banyak orang di dalam dan luar negeri.

Lalu tahun 1989, saya diikutsertakan pameran keliling Indonesia–Amerika Serikat (KIAS). Saya waktu itu mengangkat tema sederhana, tentang kehidupan tukang becak, petani, dan buruh, mendapat sanjungan kurator Amerika, tetapi diprotes banyak seniman di Indonesia, karena status saya eks tahanan politik.

Namun protes itu justru mengundang perhatian mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja. Saya dibela, dengan mengatakan karya seni tak ada kaitannya dengan ideologi. Saya terus melukis, salah satunya dengan tema Keretaku Tak Berhenti Lama. Sejak itu banyak orang lebih mengenal saya.

Saya konsisten berkarya. Saya melukis Berburu Celeng, yang dinilai fenomenal oleh banyak kalangan, dan dibukukan oleh Romo Sinduhnata. Menurut saya, celeng merupakan simbol untuk manusia yang punya sifat angkara murka. Karena celeng itu hidupnya serakah, membabi buta, perusak, bahkan matinya terhina, diburu orang dan digebukin orang.

Dengan semangat dan konsistensi saya untuk menghasilkan karya seni, akhirnya tema Berburu Celeng, menjadi karya masterpiece saya.

Untuk generasi muda se-Tanah Air,

Setiap orang mempunyai perjalanan hidup yang berbeda. Tetapi, setiap orang mempunyai hak yang sama, untuk mengisi kemerdekaan negeri ini. Untuk itu, kita harus selalu semangat, mau berjuang, dan konsisten berkarya di bidangnya, sesuai hati nurani.

Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Joko Pekik, Hal: 206-209.

Cerita Perubahan, Mengawal Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Celeng Itu Masih Berkeliaran”

Leave a Reply